Selasa, 11 September 2012

PENGARUH BAHASA TERHADAP PERBEDAAN PARA IMAM MUJTAHID DALAM MENAFSIRKAN AYAT-AYAT HUKUM Kadar M. Yusuf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Jl. Subrantas Km. 15,5 Panam, Pekanbaru e-mail: lailatul_qdr@yahoo.com Abstract: The Language influence toward Difference Diligents in Interpretation Qur’anic Verses of Law. Muslim scholars disagreed on many aspects of Islamic law, which lead to varieties and differences in the way they implement it both in their worship and social life. It is due to many aspects, and one of them is the way they interpret Qur’anic verses based on their knowledge of the Arabic language usage. This article discuss about the way Muslim scholars interpret the language used in the Qur’an. This study found that there six language aspects in which Muslim scholars have different use to interpret Qur’anic verses. They are 1) determining of hurûf jâr (preposition) and hurûf `athaf (conjuntion), 2) deciding the meaning of fi’il (verb) and ism (noun), 3) deciding the object to which isim isyârah refers to, 4) deciding the object to which a pronoun refers to 5) deciding quantity and quality on the meaning of a word and sentence, and 6) identifying ma’na haqîqy (true or real meaning) of a word and sentence and its ma`na majâzy (analogy). Based on the differences, Muslim scholars have different understanding and interpretation of Islamic law while they all refer to the same verse. The differences lead to the implmentation of Islamic laws in the way they worship as well as in the way they conduct social life. Kata Kunci : ism, fi`il, `athaf, jârr, isim isyârah Abstrak: Pengaruh Bahasa terhadap Perbedaan Para Imam Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat-ayat Hukum. Banyak persoalan hukum yang tidak disepakati oleh para ulama. Ketidaksepakatan itu dilatarbelakangi oleh berbagai hal, salah satu di antaranya adalah persoalan kebahasaan. Artikel ini membahas perbedaan para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum yang dilatarbelakangi oleh persoalan kebahasaan tersebut. Ada enam aspek kebahasaan yang memicu munculnya perbedaan tersebut, yaitu 1) pemaknaan hurûf jâr dan hurûf `athaf, 2) penentuan makna fi'il (kata kerja) dan ism (kata benda), 3) menentukan objek yang ditunjuki ism isyârah, 4 ) menentukan tempat pengembalian ism dhamīr, 5) menentukan kuantitas dan kualitas makna suatu lafal, dan 6) penentuan makna haqîqy atau majâzy suatu lafal. Berdasarkan perbedaan kebahasaan ini, para imam mujtahid memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ayat-ayat hukum Islam. Perbedaan inilah yang melahirkan keragaman umat Islam dalam beribadah dan bermu`amalah. Kata Kunci: ism, fi `il, 'athaf, jârr, isim isyârah Pendahuluan Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam penyampaian risalah kepada umat manusia, Allah menggunakan bahasa bangsa atau masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, walaupun pesan-pesan Tuhan itu tidak dikhususkan buat bangsa itu saja. Al-Qur’an menegaskan : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka . Maka Taurat diturunkan Allah kepada Nabi Musa menggunakan bahasa Ibrani sebagai bahasa kaumnya dan menurunkan Injil kepada Nabi Isa dengan bahasa Suryani sebagai bahasa kaumnya pula. Al-Qur’an sebagai Kitab terakhir diturunkan dalam bahasa Arab, karena memang sasaran awal dakwahnya bangsa Arab. Mereka dalam kesehariannya berinteraksi sesama mereka menggunakan bahasa Arab. Al-Qur’an mengambarkan hal itu: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” . Orang Arab sangat bangga dengan bahasa yang mereka gunakan. Mereka menyukai puisi dan prosa serta amtsâl. Uslub atau gaya bahasa Al-Qur’an sangat indah dan amat menarik jiwa. Ia mengalahkan bahasa yang digunakan oleh orang-orang Arab. Betapapun indahnya gaya bahasa atau puisi dan prosa yang digubah oleh seorang sastrawan Arab, namun ketika dihadapkan dengan Al-Qur’an maka terasa karya sastra atau gaya bahasa sastra yang digubah itu tidak memiliki keindahan; ia terkalahkan oleh Al-Qur’an. Disebabkan oleh keindahan bahasanya yang tidak tertandingi oleh manusia itulah, maka para ulama memandang bahwa aspek kebahasaan merupakan satu di antara sisi kemu`jizatan Al-Qur’an. Abd al-Wahhab al-Khallaf mengemukakan empat aspek kemu`jizatan Al-Qur’an, dua di antaranya berkaitan dengan bahasa, yaitu pertama keteraturan ungkapan serta makna dan kedua kefasehan lafaz serta keindahan ungkapan, yang besar pengaruhnya terhadap para pembaca dan para pendengarnya. Abu Jahal bin Hisyam, Abu Supyan bin Harb, dan al-Akhnas bin Syariq pernah saling berpesan agar tidak mendengarkan Al-Qur’an. Mereka juga mengingatkan orang-orang lainnya agar tidak cenderung kepada Kitab Suci tersebut. Tetapi, karena begitu kuatnya pengaruh Al-Qur’an, mereka diam-diam mendengarkan bacaan Nabi Muhammad . Dalam suatu riwayat dijelaskan, bahwa suatu ketika Nabi berdiri melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an. Al-Walid bin al-Mughirah berada di dekatnya mendengarkan bacaan Rasul tersebut, setelah memahami bacaan Nabi dia mengulang bacaan tersebut seraya berkata; “seolah-olah dia begitu mengasihinya”. Kemudian al-Walid pergi kepada kaumnya Bani Makhzum, dan berkata: “Demi Allah saya barusan ini telah mendengarkan dari Muhammad suatu ungkapan yang saya kira ungkapan itu bukanlah perkataan manusia dan jin. Sesungguhnya ungkapan itu benar-benar manis dan indah; di atasnya berbuah, di bawahnya melimpah, ia amat tinggi tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan ia benar-benar menghancurkan sesuatu yang di bawahnya . Ungkapan ini jelas mengambarkan kekaguman al-Walid terhadap bahasa Al-Qur’an. Tetapi kekagumannya terhadap Kitab Suci tersebut tidak membuat jiwanya mengakui kerasulan Nabi Muhammad dan mengimani Al-Qur’an. Dia pada akhirnya mengatakan : “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari Muhammad dari orang-orang dahulu” . Jadi bahasa Arab Al-Qur’an penuh dengan keindahan yang membuat banyak orang tertarik dan terpesona olehnya, baik orang yang mengakuinya sebagai Kitab Suci yang datang dari Allah ataupun orang mengingkarinya. Bagaimanapun juga, bahasa mempunyai andil yang sangat besar terhadap pemahaman seseorang terhadap teks yang dia baca atau ungkapan yang dia dengar. Pemahaman pendengar terhadap ungkapan yang didengarnya atau pemahaman pembaca terhadap teks yang dia baca belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara atau penulis teks tersebut. Hal itu disebabkan oleh pemahaman terhadap teks yang dibaca, baik kemampuan ataupun cara menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam teks. Maka itulah sebabnya, kebanyakan hasil penafsiran terhadap nas syra’i tetap menjadi nisbi; kebenarannya tidak sampai kepada tingkat mutlak (zhanni al-dalâlah), kecuali ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna yang pasti (qath`i al-dalâlah), dimana tidak ada kemungkinan makna lain selain makna yang pasti itu. Bahasa Arab mempunyai karakter yang memiliki banyak perbedaan dengan bahasa lainnya. Hal itu antara lain dapat dilihat dalam lafaz yang digunakan, dimana ia mempunyai makna ganda (musytarak). Demikian pula huruf, seperti huruf jar, ia tidak hanya memiliki satu makna tetapi mempunyai berbagai makna. Bahkan di antara huruf-huruf itu terdapat huruf yang mempunyai dua puluh makna. Maka memahami al-nushûsh al-Qur`ûniyah, huruf jar itu tentu saja menjadi suatu persoalan krusial, yaitu bagaimana menetapkan atau menentukan satu di antara begitu banyaknya makna tersebut. Penentuan makna ini perlu berijtihad, mujtahid perlu menganalisis sehingga dia dapat melihat makna yang lebih pantas digunakan dalam ayat yang sedang dia tafsirkan. Tetapi walaupun seorang mujtahid telah menganalisis dengan segala kemampuan yang dimilikinya, tetap saja makna yang digunakannya itu sebagai satu altenatif dimana masih banyak alternatif lain yang keabsahannya sama dengan makna yang gunakan. Para imam Mujtahid sebagai penafsir ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum menghadapi persoalan-persoalan kebahasan seperti yang telah disebutkan di atas. Perbedaan-perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam dilatarbelakangi juga oleh persoalan-persoalan kebahasaan. Untuk mengkajinya lebih dalam, artikel ini memperbincangkan persoalan tersebut. Tulisan ini mengkaji lebih dalam aspek-aspek kebahasaan yang mempengaruhi perbedaan para mujtahid. Problematika Bahasa Arab sebagai Alat Memahami Al-Qur’an Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran . Kata “bersifat sewenang-wenang” dalam definisi ini menunjukkan, bahwa bahasa itu sembrono; ia tidak mempunyai aturan dalam menetapkan lambang suatu makna yang ditunjukkannya. Lambang itu hanya ditetapkan begitu saja tanpa aturan, bahkan tanpa ada kesepakatan sebelumnya antar para pengguna lambang tersebut. Para pengguna lambang mengikuti saja lafaz atau lambang suatu makna yang digunakan oleh orang sebelumnya. Karena tidak punya aturan dalam penentuan lafaz atau lambang suatu makna, maka kadang-kadang terjadi penggunaan suatu lambang bunyi yang menunjukkan banyak makna. Demikian pula sebaliknya, karena tidak punya aturan dalam penentuan lafal atau lambang suatu makna maka kadang-kadang terjadi penggunaan banyak lambang bunyi yang menunjukkan satu makna. Perbincangan di atas berlaku dalam berbagai bahasa terutama bahasa Arab. Maka pemahaman pembaca atau pendengar terhadap teks yang dibaca atau ungkapan yang didengarnya belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh penulis teks atau pembicara. Sebab, mungkin saja penulis atau pembicara itu menggunakan suatu lambang bunyi yang mempunyai banyak makna, dimana lambang bunyi tersebut dia maksudkan dengan arti tertentu, sedangkan pembaca teks atau pendengar memaknai lambang itu dengan makna yang lain lagi. Dengan demikian, perbedaan maksud antara penulis teks atau pembicara dengan pembaca atau pendengar merupakan suatu hal yang wajar terjadi. Demikian pula perbedaan antar para pendengar dan pembaca; mungkin saja ada di antara pembaca suatu teks atau pendengar suatu ungkapan menangkap makna tertentu sementara pembaca atau pendengar lainnya menangkap makna yang lain lagi. Dengan demikian, perbedaan pemahaman antara para pembaca teks yang sama atau para pendengar ungkapan yang sama merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bahasa memang menuntut atau menggiring manusia kepada perbedaan-perbedaan itu. Berangkat dari analisis di atas, maka dapat ditekankan bahwa perbedaan para imam mujtahid dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum merupakan suatu keniscayaan. Kondisi bahasa Al-Qur’an itu sendiri mempunyai konsekuensi kepada perbedaan tersebut. Sebab tidak semua ayat Al-Qur’an itu mempunyai makna yang jelas (al-muhkamât), yang mengambarkan kepastian makna (qath`i al-dalâlah) dimana ia menggiring kepada keseragaman dalam memahaminya. Justru sebaliknya, banyak terdapat dalam al-Qur’an ayat yang menggunakan lafaz yang tidak mempunyai makna pasti atau samar-samar (al-mutasyâbihât). Kesamar-samaran makna itu tentu tidak dapat mencapai tarap kepastian makna. Status pemaknaannya tetap berada pada ketidak pastian (zhanni al-dalâlah), dimana hal ini berdampak kepada perbedaan atau ketidaksepakatan dalam pemaknaan terhadap suatu teks. Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an mempunyai kondisi seperti yang telah disebutkan di atas. Ia mempunyai beragam lafaz yang menunjukkan satu makna atau beragam makna yang dimiliki oleh suatu lafaz, baik makna kata kerja (fi`il), kata benda (isim), ataupun kata sambung (hurûf). Keberagaman makna ini tentu saja mempunyai dampak terhadap pemaknaan teks ayat. Lebih jauh lagi, yang menjadi persoalan dalam teks Arab (al-nushûsh al-`arabiyah) adalah penentuan maksud kata ganti (isim dhamîr), kemana ia dikembalikan. Berbeda dalam menentukan maksud yang ditunjuki oleh isim dhamir jelas mempengaruhi makna. Demikian pula isim isyârah, untuk memahami teks seorang pembaca mesti dapat menentukan kata yang ditunjuki (musyârah ilayh) oleh isim tersebut. Berbeda dalam menentukan musyârah ilayh berdampak pula kepada perbedaan pemahaman. Perspektif Kebahasaan dan Implikasinya terhadap Perbedaan Pendapat Para Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat Hukum. Paparan di atas menunjukkan banyak aspek kebahasaan yang tidak disepakati oleh para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Persoalan kebahasaan yang tidak mereka sepakati itu meliputi pemaknaan terhadap suatu kata, penentuan musyârah ilayh dari suatu isim isyârah, penentuan tempat kembali dhamîr, dan penentuan kait (muqayyad). Hal itu dapat dilihat dalam perbincangan berikut : 1. Perbedaan Para Ulama dalam Pemaknaan Kata Kata dalam Bahasa Arab meliputi isim (kata benda), fi`il (kata kerja), dan hurûf (kata sambung). Ketiga jenis kata (kalimah) itu, walaupun dalam lafal yang sama, tidak selalu mempunyai makna yang sama pula. Ia kadang-kadang mempunyai makna ganda. Maka untuk menentukan satu di antara makna yang ada, seorang mujtahid perlu berijtihad, dimana hasil ijtihadnya bisa saja berbeda dengan mujtahid lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam paparan berikut. a. Pemaknaan Huruf Jar dan `Athaf. Terdapat banyak huruf jarr yang digunakan dalam ayat-ayat hukum, yang dapat mempengaruhi makna ayat tersebut terutama jika ia mempunyai lebih dari satu makna. Hal itu dapat dilihat dalam ayat 6 surat 5 (al-Mâ’idah), yaitu:                                                 Ada beberapa huruf jarr yang tidak disepakati maknanya oleh para imam mujtahid yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ilâ pada penggalan ayat ilâ al-marâfiq dan ila al-ka`bayn. Selain itu terdapat pula ba yang terdapat dalam ayat wamsahû biru’ûsikum. Dalam kaedah bahasa Arab, ilâ memiliki tiga makna yaitu al-intihâ’, al-mushâhabah atau semakna dengan ma`a, dan semakna dengan `inda . Jika ilâ dalam ayat ini bermakna intihâ’ maka siku tidak termasuk bagian yang dibasuh, tetapi jika ia bermakna al-mushâhabah maka siku termasuk bagian yang mesti dibasuh. Demikian pula ilâ pada penggalan ayat ila al-ka`bayn (hingga dua mata kaki), jika ia diartikan kepada al-mushâhabah maka mata kaki merupakan bagian dari kaki yang mesti dibasuh, tetapi jika ia diartikan kepada intihâ’ maka mata kaki tidak termasuk bagian yang mesti dibasuh ketika membasuh kaki. Jumhur ulama, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan al-Syafi`i berpandangan bahwa ilâ dalam ayat tersebut berarti al-mushâhabah atau semakna dengan ma`a. Sebagian Ahli Zhahir dan sebagian pengikut mazhab Malik serta al-Thabari berpandangan pula bahwa ilâ dalam ayat tersebut bermakna al-ghâyah atau al-intihâ’ . Selain ilâ terdapat pula dalam ayat di atas huruf ba yang juga mempunyai makna ganda, seperti yang terdapat dalam penggalan ayat وامسحوا برؤسكم. Dalam kaedah Bahasa Arab, ba huruf jar itu mempunyai banyak makna. Mustafa Ghulayaini menjelaskan, bahwa ba mempunyai tiga belas makna. Di antara makna itu yang dapat digunakan dalam ayat di atas adalah al-ta’kîd yaitu ziyâdah (tambahan) dan tab`îdh (sebagian) . Para ulama tidak sepakat dalam memaknai huruf ba yang terdapat dalam penggalan ayat ini. Di antara mereka mengartikannya kepada al-ta’kîd atau sebagai ziyâdah (tambahan), sehingga makna huruf itu tidak berpengaruh kepada makna kalimat karena ia hanya sebagai tambahan saja. Maka berdasarkan arti tersebut, kalimat وامسحوا برؤسكم sama maknanya dengan وامسحوا رؤسكم (tanpa ba). Imam mujtahid yang memaknai ba dengan makna ini adalah Imam Malik. Sedangkan Abu Hanifah dan al-Syafi`i mengartikannya kepada tab`îdh sehingga, menurut mereka, penggalan ayat وامسحوا برؤسكم sama artinya dengan وامسحوا بعض رؤسكم (sapulah sebagian kepalamu). Selain huruf jar, dalam ayat itu terdapat pula huruf `athaf yang juga dapat menimbulkan pemahaman ganda sesuai dengan gandanya makna huruf tersebut. Huruf `athaf yang dimaksud adalah waw pada penggalan ayat wa aydiyakum dan wa arjulakum. Para ahli nahu berbeda pendapat dalam memaknai waw huruf `athaf ini. Para tokoh Nahu Basrah berpendapat, bahwa waw hanya mempunyai makna muthlaq jama`, ia tidak mempunyai faedah tartîb dan ta`qîb. Pendapat ini dipegangi pula oleh Musthafa Ghulayaini dalam karyanya Jâmi` al-Durûs al-Lughah al-`Arabiyah. Dia mengatakan : الواو تكون للجمع بين المعطوف والمعطوف عليه في الحكم والاعراب جمعا مطلقا, فلاتفيد ترتيبا ولاتعقيبا. فاذا قلت : جاء علي وخالد, فالمعنى أنهما اشتركا في حكم المجئ, سواء أكان علي قد جاء قبل خالد أم بالعكس, أم جاء معا. Sebaliknya para tokoh Nahu Kufah berpendapat, bahwa waw `athaf selain jam`u ia juga bermakna tartib. Pendapat Abu Hanifah dan Malik sama dengan tokoh Nahu Basra, sehingga menurut mereka waw `athaf dalam ayat di atas hanya bermakna jam`u saja tidak ada tertib dan ta`qîb. Sedang al-Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal sependapat dengan aliran Nahu Kufah, yaitu bahwa waw `athaf tidak hanya bermakna jam`u saja tetapi juga tartîb dan ta`qîb. b. Pemaknaan terhadap Kata Benda (isim) dan Kata Kerja (fi`il) Pemaknaan suatu kata dalam menafsirkan ayat-ayat hukum juga persoalan yang selalu tidak disepakati oleh para ulama, dimana perbedaan itu mempunyai konsekuensi munculnya perbedaan pendapat dalam Fiqih Islam. Dalam ayat 6 surat al-Mâ’idah di atas terdapat beberapa kata yang tidak mereka sepakati maknanya, yaitu antara lain lâmasa dan sha`îdan thayyiban. 1. Kata lâmasa terdapat dalam penggalan ayat لامستم النساء. Kata ini semakna dengan massa. Ia juga mempunyai makna ganda, yaitu menyintuh dengan tangan sebagai makna dasar dan mempergauli atau mencampuri sebagai makna majazi. Seperti yang tergambar dalam ayat, bahwa tidak ada kepastian salah satu di antara kedua makna tersebut. Maka para ulama bebas berkeriasi atau berijtihad dalam menentukan makna yang dimaksud dalam ayat di atas. Abu Hanifah mengartikan kata lamasa itu kepada jimak atau menyampuri, sesuai dengan makna majazinya. Sedangkan Imam Malik dan al-Syafi`i mengartikannya pula kepada makna dasar lamasa itu sendiri, yaitu bersentuhan kulit. Perbedaan ini melahirkan perbedaan pendapat mereka mengenai bersentuhan laki-laki dan wanita, yang membuat batalnya wuduk. Menurut Hanafi, maksud sentuhan dalam ayat itu ialah jimak. Sedangkan Imam Malik dan al-Syafi’i berpendapat pula, bahwa sentuhan yang membuat batalnya wuduk itu adalah bersentuhan kulit. 2. Sha`îda, secara etimologi kata sha`îda berasal dari kata sha`ada. Makna dasarnya adalah “terangkat”. Al-sha`îd bermakna bumi yang terangkat atau agak tinggi. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna terminologi kata sha`îd dalam ayat ini. Menurut al-Syafi`i, kata itu bermakna “tanah yang mengandung debu”. Menurut Abu Ishaq, sha`îd berarti wajhu al-ardh (permukaan bumi) . Perbedaan-perbedaan ini jelas menimbulkan ikhtilâf dalam menetapkan benda yang boleh dijadikan untuk bertayamum. Perbincangan di atas mengambarkan perbedaan para ulama dalam memaknai kata yang terdapat dalam ayat-ayat mengenai ibadah. Perbedaan seperti ini juga terdapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum tentang mu`amalah. Hal itu misalnya pemaknaan terhadap kata qurû’, nakaha, tathahharna, dan i`tazilû. Pertama kata qurû’. Kata tersebut terdapat dalam ayat 228 surat 2 (al-Baqarah), yaitu :      Kata qurû’ merupakan jamak dari qar’, ia mempunyai dua makna, yaitu al-haydhu (haid) dan al-thahru (suci). Kedua makna ini digunakan dalam bahasa Arab. Pemaknaan kata qar’u kepada suci dan haid merupakan pengembangan dari makna dasarnya, yaitu al-waqt . Abdul Wahab Abdus Salam secara umum mengartikan qar’u itu kepada “waktu dimana pada saat itu sudah biasa terjadi suatu kejadian tertentu” . Masa haid dan suci disebut dengan al-qar’u karena ia merupakan masa khusus dan biasa terjadi pada setiap wanita pada waktu-waktu tertentu. Kemudian istilah qar’u ini secara umum diartikan kepada haid dan suci tersebut. Para mujtahid tidak sepakat dalam memaknai kata qar’u dalam ayat di atas. Abu Hanifah mengartikannya kepada haid, dan Imam al-Syafi`i mengartikannya pula kepada suci. Pendapat al-Syafi`i ini didukung oleh kata tsalâtsata qurû’ dalam ayat itu, yang menggunakan `adad (kata bilangan) dalam bentuk mu’annats. Dalam kaedah bahasa Arab, apabila `adad-nya mu’annats maka ma’dud-nya mestilah mudzakkar yaitu al-athahru (suci). Bukan al-haydhah karena ia mu’annats, jika yang dimaksud dengan qurû’ dalam ayat itu haid maka lafalnya tsalâtsa qurû’ bukan tsalâtsata qurû’ . Kedua kata nikâh. Kata nikâh yang tidak disepakati maknanya, antara lain dapat dilihat dalam ayat 22 surat al-Nisâ’ yaitu :             Secara umum ayat ini bermakna, bahwa seseorang dilarang menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayahnya, kecuali pernikahan yang sudah terlanjur sebelum turun larangan ini. Perbuatan menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayah itu adalah perbuatan yang keji. Persoalan yang muncul dalam penafsiran ayat di atas adalah makna kata nakaha. Kata nakaha merupakan lafaz musytarak. Ia mempunyai makna ganda, yaitu makna lughawi dan makna istilah. Nikah secara bahasa bermakna jimak atau hubungan seksual, dan secara istilah nikâh bermakna akad ijab qabul yang dilakukan oleh wali nikah dan calon suami. Kata nakaha dalam ayat di atas terulang dua kali, yaitu tankihû dan nakaha. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam memaknai kata tankihû, yaitu akad nikah. Mereka berbeda dalam memaknai kata nakaha, yang terdapat pada kalimat mâ nakaha. Jika kata nikah dalam ayat ini diartikakan menurut makna etimologinya, maka ayat itu bermakna bahwa seorang anak tidak boleh menikahi wanita yang telah pernah dipergauli oleh ayahnya, walaupun pergaulan itu tidak halal. Tetapi jika kata tersebut diartikan kepada akad, maka yang dilarang hanya menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayah. Maka berdasarkan makna ini, seseorang boleh menikahi wanita yang pernah dicampuri oleh ayahnya tanpa akad nikah. Abu Hanifah, al-Tsawri, al-Awza`i, dan Qatadah mengartikan kata nikâh dalam ayat ini kepada maknanya secara bahasa, yaitu jimâ`. Sedangkan al-Syafi`i, al-Laytsi, al-Zuhri, dan mazhab Malik mengartikannya kepada akad . Ketiga kata tathahharna, yang terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 222, yaitu :                          •       Kata tathahhara dalam ayat ini merupkan fi`il mâdhi jama` mu’annats, yang berasal dari kata thahura. Kata tersebut telah mendapatkan tambahan “ta” dan satu huruf yang sejenis dengan `in fi`ilnya. Secara harfiah thahura bermakna suci, dan tathahharna bermakna mereka telah suci. Tetapi, tidak ada kepastian mengenai maksud suci (tathahhara) dalam ayat tersebut; apakah dalam makna putusnya darah haid (inqithâ` dam al-haydh) kemudian membasuh al-mahîdh (tempat keluar haid), atau dalam arti inqithâ` dam al-haydh dan mandi?. Hal ini tidak disepakati oleh para ulama. Imam Abu Hanifah mengartikan kedua kata itu kepada inqithâ` dam al-haydh (berhentinya darah haid). Maka kata yathhurna dalam ayat ولا تقربوهن حتى يطهرن menurutya semakna dengan tathahharna dalam ayat فاذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله . Dengan demikian ayat itu berarti “janganlah kamu dekati mereka sehingga darah haidnya berhenti keluar, dan apabila darah mereka itu telah berhenti maka datangilah mereka”. Sedangkan Jumhur ulama berpandangan pula, bahwa kata yathurna mempunyai makna yang berbeda dari kata tathahharna. Kata yathhurna bermakna inqithaâ’ dam al-haydh, sedangankan tathahharna berarti ightasalna (mandi). Maka oleh sebab itu, menurut mereka ayat itu bermakna “janganlah kamu dekati mereka sehingga darah haidnya berhenti keluar, dan apabila mereka telah mandi (setelah darah mereka itu berhenti keluar) maka datangilah mereka”. c. Penentuan Musyârah Ilayh dari Suatu Isim Isyârah Perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat hukum juga dilatarbelakangi oleh berbedanya mereka dalam menentukan musyârah ilayh (kata yang ditunjuki oleh) suatu isim isyarah. Perbedaan menentukan musyârah ilayh tersebut mempunyai kosekuensi terhadap perbedaan makna. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dalam penafsiran ayat berikut: 1. Penafsiran ayat tentang pelaksanaan haji tamattu`, yaitu :                                      Dalam ayat di atas terdapat ungkapan ذالك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام (hal itu bagi orang-orang, dimana keluarganya bukan penduduk Masjidil Haram/Kota Mekkah). Persoalan yang tidak dipakati oleh para mufassir adalah ungkapan atau lafal mana yang ditunjuki oleh kata dzâlika (itu) dalam ayat tersebut? Sebelumnya diperbincangkan tentang haji tamattu`, yaitu melaksanakan umrah sebelum haji di bulan haji. Seorang muslim boleh mengerjakan haji tamattu` dengan syarat membayar dam salah satu di antara dua hal, yaitu mengurbankan seekor binatang ternak atau berpuasa sepuluh hari; tiga dilaksanakan semasa melaksanakan ihram haji dan tujuh hari lainnya apabila telah pulang ketempat tinggal. Kemudian penggalan ayat berikutnya menyatakan “ذالك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام (hal itu bagi orang-orang, dimana keluarganya bukan penduduk Masjidil Haram/Kota Mekkah). Apakah yang dimaksud dengan “hal itu” dalam ayat ini? Ada dua kemungkinan lafal yang ditunjuki oleh dzâlika tersebut, yaitu kebolehan melaksanakan haji tamattu` dan kewajiban membayar dam jika melaksanakan haji tamattu`. Abu Hanifah berpendangan, bahwa musyârah ilayh kata dzâlika dalam ayat ini adalah haji tamattu`. Sedangkan Imam Malik, al-Syafi`i, dan Ahmad berpendapat pula bahwa lafal yang tunjuki oleh dzâlika adalah kewajiban membayar dam . Berdasarkan penentuan musyârah ilaih itu, Imam Hanafi berpandangan bahwa haji tamattu` hanya boleh dilakukan oleh orang yang bukan penduduk Kota Mekkah. Sedangkan jumhur ulama, berdasarkan penentuan mereka terhadap musyârah ilaih dalam ayat tersebut, berpendapat pula bahwa dam haji tamattu` hanya diwajibkan kepada orang-orang yang bukan penduduk Kota Mekkah. Dan penduduk Kota Mekkah yang mengerjakan haji tamattu` tidak dikenakan dam. 2, penafsiran ayat tentang hukum mengawini pezina, yang terdapat dalam surat al-Nûr ayat 3, yaitu : •       •             Para ulama tidak sepakat dalam menafsirkan ayat ini, khususnya hukum menikah dengan pezina. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh ketidaksepakatan mereka dalam memaknai penggalan ayat wahurrima dzâlika `ala al-mu’minîn, khususnya menentukan lafal yang ditunjuk oleh dzâlika. Ada mufassir yang berpendapat, bahwa kalimat yang diisyaratkan oleh dzâlika itu adalah nikâh al-zâni (menikahi pezina) dan nikâh al-musyrik (menikahi orang musyrik), yang terkandung dalam penggalan ayat sebelumnya. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata dzâlika dalam ayat itu diisyaratkan kepada al-zina bukan kepada al-nikâh. Oleh karena itu menurut mereka, boleh bagi orang baik-baik (`afîf atau `afîfah) menikah dengan pezina . Pendapat ini, dikalangan sahabat, dinukilkan dari Abu Bakar, Umar, dan Ibn Abbas yang kemudian dianut oleh jumhur ulama seperti Hanafi dan al-Syafi`i. Selain jumhur, terdapat pula ulama yang berpandangan, bahwa kata dzâlika diisyaratkan kepada al-nikâh. Oleh karena itu, mereka berpandangan tidak boleh menikah dengan pezina. Dari kalangan sahabat, hal ini diriwayatkan dari Ali, al-Barra’, dan `A’isyah . d. Penentuan Tempat Kembali Dhamîr Perbedaan pendapat para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum juga dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam menentukan tempat kembali isim dhamîr yang terdapat dalam ayat hukum tersebut. Hal itu seperti yang terlihat pada komentar dan penjelasan mereka terhadap ayat-ayat mengenai tayamum di atas, yaitu penggalan ayat 6 surat 5 (al-Mâ’idah):                           Artinya: Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah yang suci. Dalam ayat di atas terdapat isim dhamîr yaitu أنتم (kamu), yang merupakan kata ganti orang kedua jamak (jama` mukhâtab). Sebelumnya terdapat pula beberapa kata ganti orang kedua jamak, dimana perbincangan diarahkan kepada orang-orang (kamu) yang telah junub, orang-orang sakit, orang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah buang air besar, dan orang yang telah bersentuhan dengan wanita. Secara garis besar perbincangan ayat ini dapat dikategorikan kepada dua macam, yaitu orang-orang (kamu) yang telah berhadas besar (junub) dan orang (kamu) yang telah berhadas kecil, yang meliputi buang air besar dan bersentuhan dengan wanita. Dalam penggalan ayat فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا juga terdapat kata ganti orang kedua jamak, yang menjelaskan kebolehan bertayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air. Persoalan yang menjadi perdebatan disini adalah maksud antum yang terdapat dalam penggalan ayat ini; apakah semua orang yang diperbincangkan dalam ayat sebelumnya atau sebagiannya, yaitu orang-orang yang berhadas kecil saja?. Para mujtahid tidak sepakat dalam menentukan siapa yang dimaksud dengan antum (kamu) dalam penggalan ayat tersebut. Umar dan Ibn Mas`ud berpandangan, bahwa dhamîr antum yang terdapat dalam penggalan ayat ini kembali kepada orang-orang yang berhadas kecil saja, dalam ayat itu disebutkan orang yang sudah buang air dan bersentuhan dengan wanita. Sedangkan Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya berpendapat pula, bahwa dhamîr itu tidak hanya kembali kepada orang yang berhadas kecil saja tetapi juga kembali kepada orang yang telah berhadas besar (junub). e. Cakupan dan Kualitas Makna Suatu Lafaz 1. Takhshish al-`Am Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat `âmm, dimana ia dipahami dan diamalkan berdasarkan keumumannya itu tanpa takhshish. Sebaliknya, terdapat pula ayat-ayat `âmm yang tidak dipahami dan diamalkan berdasarkan keumumannya itu, tetapi ia ditakhshishkan oleh ayat lain atau sunnah Nabi. Para ulama kadang-kadang tidak sepakat dalam menentukan keberlakuan umunya suatu ayat. Suatu ayat ` âmm, yang dipahami dan ditafsirkan berdasarkan keumumannya itu oleh seorang mujtahid belum tentu juga dipahami dan ditafsirkan sedemikian rupa oleh mujtahid lainnya. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran ayat-ayat berikut: a. Penafsiran terhadap kata al-‘ahillah dalam ayat 189 surat al-Baqarah (2):         ••   Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. Secara umum ayat ini menjelaskan, bahwa bulan sabit itu adalah waktu pelaksanaan ibadah haji. Dan bulan sabit itu ada di setiap bulan. Maka berdasarkan ini menurut mereka, ihram haji itu boleh dilaksanakan kapan saja baik dalam bulan haji ataupun tidak. Kata al-ahillah dalam ayat di atas bersifat ` âmm, ia ada di setiap bulan. Para mujtahid berbeda dalam memaknai kata tersebut; Apakah ia dipahami dan diamalkan sesuai keumumannya, atau ia telah ditakhshishkan sehingga tidak lagi diartikan sesuai keumumannya itu. Imam Malik dan Abu Hanifah memaknainya berdasarkan makna ` âmm -nya. Sedangkan Imam al-Syafi`i melihat, keumuman kata al-ahillah dalam ayat 189 surat al-Baqarah itu telah di-takhshîsh-kan oleh ayat الحج أشهر معلومات . Maka dengan demikian menurutnya, bulan sabit yang dimaksud dalam ayat 189 itu adalah bulan sabit yang ada di bulan haji, tidak termasuk bulan sabit pada bulan lainnya. b. Penafsiran ayat mengenai pemberian mut`ah oleh suami kepada isteri yang telah diceraikannya, yaitu :         Kata al-muthallaqât dalam ayat ini adalah lafaz ` âmm. Hasan al-Basri memaknai kata tersebut sesuai dengan lafaz ` âmm -nya. Menurutnya ayat itu berarti, seorang laki-laki wajib memberikan mut`ah kepada perempuan yang telah diceraikannya. Malik berpandangan, suami hanya sunat memberikan mut`ah kepada wanita yang telah diceraikannya itu. Dilalah yang menunjukkan sunat itu adalah penggalan ayat yang terdapat di bagian akhir ayat 245 di atas, yaitu haqqan `ala al-muttaqîn. Sedangkan Jumhur berpandangan, bahwa al-muthalaqât dalam ayat itu memang ` âmm tetapi ia dipahami secara khas. Maka mereka berpendapat mut`ah hanya wajib atas laki-laki untuk wanita yang dicerai dimana wanita itu belum menentukan jumlah maharnya. Sebaliknya, wanita yang dicerai setelah ditentukan maharnya, dan telah dibayar, hanya sunat diberi mut`ah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibn Umar, Ibn Abbas dan Ali bin Abi Thalib . Dalil yang menunjukkan khasnya makna muthallaqât dalam ayat tersebut adalah firman Allah yang terdapat dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat 236 surat al-Baqarah. Ayat itu menyebutkan, bahwa wanita yang dicerai sebelum dipergauli dan belum pula ditentukan maharnya wajib diberi mut`ah. c. Penafsiran ayat tentang haramnya seorang laki-laki menikahi wanita yang pernah menyusukannya atau saudara sesuan. Ayat itu adalah :   •         •      Dalam ayat di atas terdapat kata ummahâtukum al-lâtî ardha`nakum dan akhawâtukum min al-radhâ`ah. Ayat ini adalah umum, yaitu siapapun wanita yang menyusukan dan berapapun frekuensi menyusu termasuk dalam larangan itu. Hal ini dipegangi oleh mazhab Maliki, Abu Hanifah, al-Awza`i, dan al-Tsawri. Dan dari kalangan sahabat, terdapat pula Ali, Ibn Mas`ud, Ibn `Umar, dan Ibn `Abbas yang juga berpandangan bahwa ayat itu dipahami dan diamalkan berdasarkan makna umumnya itu . Tetapi selain mereka ini, terdapat pula para mujtahid yang tidak memaknai ayat itu dalam keumumannya. Menurut mereka, ayat itu telah ditakhshishkan oleh ayat yang telah dimansukhkan tulisanya sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat `A’isyah: كَانَ فِيمَا أنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمًاتٍ يُحْرَمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسِ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهو فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ Artinya: Pernah diturunkan sebagian dari (ayat) al-Qur’an (yang menerangkan) diharamkan (menikahi kalau) menyusu sudah sampai sepuluh kali yang dimaklumi. Kemudian dinasakhkan dengan lima kali (menyusu) yang dimaklumi. Kemudian Rasul wafat, dan ia masih dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an (HR. Muslim) . Berdasarkan hadis ini mereka berpandangan, terdapat batas minimal frekuensi menyusu sebagai persyaratan keharaman menikahi wanita yang menyusukan dan saudara sesuan. Namun mereka berbeda pula dalam menentukan batas minimal tersebut. Perbedaan itu adalah : - Menurut Abu `Ubaid dan Abu Tsur, batas minimal itu adalah tiga kali menyusu - Al-Syafi`i berpandangan, bahwa batas minimal itu adalah lima kali menyusu - Bahkan ada sebagian ulama yang berpendapat, batas minimalnya ialah sepuluh kali menyusu . Selain itu terdapat pula hadis, yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Haris yang dia terima dari Ummi al-Fadhl. Bahwa Nabi bersabda: لا تحرم الرضعة أو الرضعتان أو المصة أو المصتان Artinya: Tidaklah diharamkan sekali atau dua kali menyusu, atau sekali hisap dua kali hisap . d. Penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan tahallul pada masa melaksanakan ibadah haji jika dikepung oleh musuh (al-ihshâr), yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 196 :               Ayat ini memberikan keringan untuk bertahallul kepada orang yang sedang ihram, dimana mereka terhalang oleh musuh. Persoalan yang tidak disepakati adalah makna kata al-ihshâr dalam ayat di atas. Secara harfiah, al-ihshâr bermakna al-habs (tertahan atau terhalang). Tetapi apakah yang dimaksud dalam ayat itu semua bentuk halangan, atau khusus terhalang oleh musuh. Jumhur ulama berpandangan, yang dimaksud dengan halangan (al-ihshâr) dalam ayat tersebut hanyalah tertahan atau terhalang oleh musuh, tidak termasuk halangan lainnya. Artinya, jumhur memaknai kata al-ihshâr tersebut dalam makna sempit, ia tidak mencakupi makna lain. Sedangkan Abu Hanifah memaknai kata al-ihshâr itu dalam arti luas, tidak hanya dalam arti terkepung atau terhalang oleh musuh saja. Menurutnya, halangan-halangan lain seperti sakit, takut, hilangnya kendaraan, dan lain-lain termasuk hal-hal yang membolehkan bertahallul. e. Penafsiran terhadap ayat mengenai larangan menikahi prempuan musyrik (al-musyrikât). Hal itu terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 221, yaitu :       Para ulama tidak sepakat dalam menafsirkan kata al-musyrikât dalam ayat ini. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mengandungi makna kafir kitabi (kitabiyât), yaitu wanita Yahudi dan Nasrani. Mereka berdalil dengan perbincangan al-Qur’an itu sendiri, yang membuat perbedaan antara ahl al-kitâb dengan al-musyrik. Ketika al-Qur’an berbincang mengenai musyrik, maka tidak termasuk di dalam ahl al-kitâb. Oleh sebab itu, kata al-musyrikât dalam ayat di atas tidak mencakupi kitabiyât. Sebaliknya, Ibn Umar berpendapat pula bahwa al-musyrikât dalam ayat itu juga mencakupi kitabiyât. Lebih jauh, dia mengatakan “Saya tidak tahu, apakah ada syirik yang lebih besar dari perkataan seorang wanita tuhannya Isa” . Perbedaan ini berinplikasi kepada perbedaan mereka dalam menetapkan hukum mengenai kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi kitabiyât. f. Penafsiran terhadap kata i`tizâl, yang terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 222. Dalam ayat tersebut ditegaskan “fa`tazilu al-niasâ’a fi al-mahîdh” (Jauhilah isterimu yang sedang dalam masa haid). Persoalan yang menjadi perdebatan disini adalah apakah yang dimaksud dengan “ menjauhi isteri dalam masa haid “ (i`tizâl al-nisâ’ fi al-mahîdh). Apakah sekujur badannya atau bagian tertentu saja? Ada mufassir yang memaknai ayat itu secara umum, dan ada pula yang memaknainya secara khusus. Mufassir yang memaknainya secara umum adalah suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Abbas dan `Ubaidah al-Salmani. Sedangkan jumhur ulama memaknainya secara khusus. Menurut mereka, yang dimaksud dengan i`tizâl al-nisâ’ fi al-mahîdh tidaklah sekujur badannya tetapi bagian tertentu saja. Namun demikian, jumhur berbeda pula dalam menentukan bagian tubuh wanita yang mesti dijauhi dalam masa haidnya itu. Perbedaan itu adalah : a). Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bagian yang wajib dijauhi itu ialah mulai dari pusat sampai lutut. b). Al-Syafi`i berpandangan pula, bahwa yang mesti dijauhi hanyalah kemaluan, tempat yang sedang kotor (mawdhi` al-adza) . 2. Kualitas suatu perintah dan larangan Perbincangan menegnai hukum pastilah berkaitan dengan perintah atau larangan. Kualitas suatu perintah dan larangan tidak selalu sama antara satu kalimat dengan kalimat lainnya. Kualitas kalimat perintah yang paling tinggi adalah wajib, tetapi kadang-kadang ia juga bermakna suatu anjuran atau kebolehan atau tidak berniali apa-apa (mubâh). Dan kalimat larangan yang paling tinggi adalah haram, tetapi kadang-kadang ia juga bermakna suatu anjuran agar ditinggalkan, tidak sampai berdosa mengerjakannya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum selalu menggunakan kalimat perintah dan larangan. Tidak semua kalimat perintah dalam al-Qur’an bermakna wajib, dan tidak semua larangan dalam al-Qur’an bermakna haram. Para imam mujtahid kadang-kadang tidak sepakat dalam memaknai kalimat perintah atau larangan tersebut. Suatu kalimat perintah yang dimaknai sebagai wajib oleh sebagian mujtahid belum tentu juga wajib dalam pandangan mujtahid lainnya, demikian pula kalimat larangan. Perbedaan-perbedaan dalam pemknaan ini tentu saja melahirkan pula perbedaan dalam menetapkan hukum. Hal itu dapat dilihat dalam dua contoh berikut : a. Perintah menikah yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini seperti yang terdapat dalam ayat:           Dalam ayat ini terdapat kata perintah, yaitu fankihû. Walaupun kata fankihû, diungkapan dalam bentuk fi`il al-amr tetapi ia tidak mesti diartikan kepada wajib. Menurut Jumhur, kata perintah dalam ayat tersebut bermakna sunat tidak wajib. Sedangkan menurut Ahl al-Zhahir, kalimat perintah dalam ayat di atas bermakna wajib. Artinya, mereka berbeda dalam memandang kualitas kata perintah dalam ayat tersebut. Ahlu Zahir berpendapat, bahwa kualitas perintah tersebut berada pada pringkat wajib, sedangkan Jumhur berpendapat pula kualitasnya tidak sampai pada tingkat wajib; ia hanya merupakan printah sunat. b. Perintah membaca basmalah ketika menyembelih binatang. Hal ini seperti yang terdapat dalam firman Allah ayat 121 surat al-An`âm, yaitu:            Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Dalam ayat ini terdapat fi`il nahi, yaitu larangan memakan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah. Bahkan, hal itu disebut dengan perbuatan fasiq (innahû lafisq). Selain larangan atau fi`il nahi, terdapat pula perintah menyebut nama Allah ketika melepas binatang pemburu, yaitu:      •   •    Artinya : Dan sebutlah nama Allah (ketika melepas) binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. Para ulama tidak sepakat memaknai kedua penggalan ayat di atas, terutama memaknai larangan dan kata perintah yang terdapat di dalamnya. Jumhur ulama yang terdiri dari Ahlu Zahir, Abu Hanifah, Malik, dan Tsawri berpandangan, bahwa larangan dalam ayat di atas berkualitas haram dan kata perintahnya bermakna wajib. Sedangkan menurut Imam al-Syafi`i, larangan itu tidak bermakna haram tetapi hanya bermakna makruh. Dan perintah tidak bermakna wajib, tetapi bermakna sunat. Berdasarkan perbedaan perspektif kebahasaan ini maka merekapun berbeda dalam menetapkan hukum. Perbedaan itu adalah : a. Menurut mazhab Zhahiri (kaum tekstual), membaca basmalah ketika menyembelih wajib secara mutlak. b. Menurut Abu Hanifah, Maliki, dan al-Tsawri, membaca basmalah ketika menyembelih adalah wajib dan merupakan syarat sahnya sembelihan jika teringat, tetapi jika terlupa maka wajibnya menjadi gugur. c. Al-Syafi`i berpandangan, membaca basmalah ketika menyembelih bukanlah syarat sahnya sembelihan. Menurutnya, membaca basmalah ketika menyembelih hanyalah sunat mu’akkad. Selain memaknai larangan kepada makruh dan suruhan kepada sunat, Imam al-Syafi`i juga berdalil sabda Nabi yang diriwayatkan dari Imam Malik yaitu : سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقيل : يارسول الله ان ناسا من البادية يأتوننا بلحمان ولا ندري أسموا الله أم لا ؟ فقال رسول الله سموا الله ثم كلوها Artinya: Ada orang yang bertanya kepada Rasulullah; Ya Rasul, sesungguhnya ada orang dari masyarakat badwi datang kepada kami membawa daging dan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak? Maka Rasul menjawab; “Sebutlah nama Allah, kemudian makanlah”. Imam al-Syafi`i cenderung melakukan al-jam`u (kompromi) terhadap dua nas yang ta`ârudh (bertentangan) ini, dengan cara menakwilkan larangan dalam ayat kepada makruh. Sehingga dia berpendapat, membaca basmalah itu sunat bukan wajib. Selain itu, ayat ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه diartikan kepada larangan memakan sembelihan menyebut selain Allah, bukan larangan memakan sembelihan yang tidak membaca basmalah. 2. Penentuan Qaid (Muqayyad) Perbincangan al-Qur’an mengenai norma, ketentuan, atau hukum yang harus dipatuhi manusia selalu dikaitkan dengan kondisi, sifat, atau persyaratan tertentu, dimana jika kondisi, sifat, atau persyaratan itu tidak ada maka hukum atau ketentuan akan berubah. Tetapi penyebutan al-Qur’an mengenainya tidak serta merta menjadi atau persyaratan keberlakuan suatu hukum. Seperti larangan Allah mewarisi kaum wanita dengan cara paksa, sebagaimana yang tergambar dalam ayat يأيها الذين أمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها (Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi wanita itu dengan cara dipaksa) . Penyebutan kata paksa (karhan) dalam ayat ini jelas bukan menjadi kait keharaman mewarisi wanita. Artinya, baik terpaksa ataupun suka, wanita tetap tidak boleh diwarisi. Sebab, kata karhan dalam ayat di atas itu hanya mengambarkan kondisi wanita yang diwarisi itu pada umumnya terpaksa. Tidak ada batasan yang jelas mengenai kait yang mempengaruhi hukum dan yang tidak mempengaruhinya. Oleh sebab itu, persoalan ini selalu memicu munculnya perbedaan dalam penafsiran. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran berbagai ayat, baik yang menyangkut dengan ibadah ataupun mu`amalah. Untuk lebih jelas penulis sajikan penafsiran ayat berikut: a. penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan mengasar shalat, yang terdapat dalam surat 4 (al-Nisâ’) 101:                   •       Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Ayat ini menegaskan mengenai kebolehan seorang muslim yang dalam musafir mengashar shalat, dengan menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Tetapi kebolehan itu diiringi dengan ungkapan ان خفتم أن يفتنكم الذين كفررا (jika kamu takut diserang orang-orang kafir), sehingga soalah-olah ayat itu bermakna “bahwa apabila kamu dalam perjalanan maka kamu boleh mengashar shalatmu dengan syarat jika kamu takut diganggu orang-orang kafir”. Yang menjadi persolan disini adalah “apakah huruf syarat dalam ayat itu merupakan kait terhadap kebolehan mengashar shalat atau tidak? Jika tidak, apa urgensi dan makna in khiftum ayyaftinakum al-ladzîna kafarû dalam ayat ini?. Dan jika ia menjadi syarat, maka ayat itu mengandung makna bahwa orang yang tidak khawatir mendapat gangguan dari orang-orang kafir dalam perjalanannya tidak boleh mengashar shalat. Para mujtahid tidak sepakat dalam memaknai in syarthiyah dalam ayat tersebut. Jumhur ulama berpandangan ungkapan in khiftum ayyaftinakum al-ladzîna kafarû yang terdapat dalam ayat itu tidaklah merupakan kait, tetapi menggambarkan kebiasaan (aghlabiah) yang terjadi. Sedangkan, `A’isya berpandangan pula, bahwa penggalan ayat itu merupakan kait terhadap penggalan ayat falaysa `alaykum junâhun an taqshurû min al-shalâh . b. penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan menikah dengan anak tiri dan mertua, yang terdapat dalam ayat 34 surat 4 (al-Nisâ’), yaitu : •                   Artinya: Dan (juga diharamkan bagimu) menikahi ibu isterimu dan anak tirimu yang berada dalam jagaanmu dari isterimu dimana kamu telah mempergaulinya. Jika kamu belum mempergaulinya, maka tidak ada dosa bagimu (menikahinya). Terdapat dua kait dalam ayat ini, yaitu pertama التى فى حجوركم (yang berada dalam jagaanmu) yang terdapat setelah kata ربائبكم (anak tirimu), dan التى دخلتم بهن yang terdapat setelah kata min nisâ’ikum. Persoalan yang diperdebatkan disini adalah “apakah kata التى فى حجوركم menjadi kait dan membatasi kemutlakan ربائبكم atau tidak?”. Hal inilah yang tidak disepakati oleh para ulama. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata التى فى حجوركم tidaklah menjadi kait bagi ربائبكم sehingga kata yang terakhir ini tetap dipahami secara mutlak, dan tidak ada pembatasan makna kecuali kait yang terdapat setelah min nisâ’ikum, yaitu التى دخلتم بهن من نسائكم(dari isterimu yang kamu pergauli). Atau dengan kata lain, kemutlakan kata rabâ’ibukum hanya dibatasi maknanya oleh kata التى دخلتم بهن من نسائكم sedangkan kata التى فى حجوركم tidaklah membatasi makna atau tidaklah menjadi kait bagi kemutlakan kata ربائبكم. Sebaliknya, `Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa kedua kata (al-latî fî hujûrikum dan al-latî dakhaltum bihin) tersebut menjadi kait atau membatasi kemutlakan kata rabâ’ibukum . Kedua التى دخلتم بهن (dimana kamu telah bergaul dengan isterimu itu). Para ulama sepakat, bahwa kata ini merupakan kait bagi kata ربائبكم. Artinya, anak tiri yang haram dinikahi hanyalah anak tiri dimana ibunya telah dipergauli. Apabila ibunya belum dipergauli, kemudian dia diceraikan, maka anak itu boleh dinikahi. Tetapi para mujtahid tidak sepakat mengenai التى دخلتم بهن sebagai kait bagi kata أمهات نسائكم yang terdapat sebelum kata ربائبكم. Menurut jumhur ulama, kata allatî dakhaltum bihinna tidaklah kait atau tidaklah membatasi kemutlakan kata ummahâtu nisâ’ikum. Justru itu, menurut mereka أمهات نسائكم mesti dipahami secara mutlak, kait sifat yang terdapat dalam ayat itu hanya berlaku pada rabâ’ibukum saja. Sedangan Ali bin Abi Thalib berpandangan, bahwa kait itu tidak hanya berlaku terhadap rabâ’ib tetapi juga berlaku terhadap kata ummahât. Maka menurutnya, kata أمهات نسائكم tidak dipahami secara mutlak tetapi dikaitkan dengan al-latî dakhaltum bihinn. f. Makna Hakiki dan Majazi Selain dari persoalan kebahasaan di atas, perbedaan pendapat para mujtahid dalam menafsirkan suatu ayat juga dilatarbelakangi oleh pandangan mereka tentang makna hakiki dan majazinya suatu ayat. Perbincangan al-Qur’an mengenai suatu persoalan kadang-kadang bersifat hakiki dan kadang-kadang bersifat majazi. Ungkapan yang bersifat hakiki itu secara jelas dapat dipahami kehakikiannya, demikian pula ungkapan majazi sehingga tidak ada menimbulkan perbedaan pendapat. Tetapi, ada pula ungkapan hakiki dan majazi yang tidak dapat dipahami secara pasti; apakah ia pasti hakiki atau pasti majazi. Inilah yang melahirkan perbedaan dalam penafsiran. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran surat 2 (al-Baqarah) ayat 184:             Para ulama berbeda dalam memahami kalimat فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر (siapa saja di antaramu yang sakit atau dalam perjalanan, maka dia mesti berpuasa sejumlah hari dia sakit atau dalam perjalanan tersebut di hari-hari yang lain). Sebagian ulama berpandangan bahwa ada kata yang dimahzufkan dalam ayat tersebut, yaitu fa afthara sehingga menurut mereka ayat itu bermakna فمن كان منكم مريضا أو على سفرفأفطر فعدة من أيام أخر (siapa saja di antaramu yang sakit atau dalam perjalanan lalu dia berbuka atau tidak berpuasa, maka dia mesti berpuasa sejumlah hari berbukanya itu di hari-hari yang lain). Jumhur ulama menafsirkan ayat di atas seperti penafsiran ini. Sedangkan Ahl Zhahir berpandangan, bahwa tidak ada kata yang dimahzufkan. Menurut mereka ayat tersebut mesti dipahami sebagaimana adanya, yaitu dalam makna hakiki . Artinya, menurut jumhur ulama ayat di atas termasuk majaz nuqshan yaitu tidak menyebutkan kata fa afthara karena telah dimaklumi. Dan ulama lainnya berpendapat, bahwa ayat di atas mengandung makna hakiki, tidak ada kata yang dihilangkan. Oleh karenanya ia mesti dimaknai dengan makna hakiki itu. Maka orang yang sedang dalam perjalanan mestilah berpuasa di luar Ramadhan sejumlah hari perjalanannya itu. Penutup Munculnya perbedaan pendapat para ulama dalam Fiqih merupakan suatu keniscayaan. Maka pemahaman dan pengamalan umat Islam terhadap ajaran agamanya, khususnya persoalan-persoalan Fiqih, tidak mungkin disatukan. Banyak faktor yang memicu munculnya perbedaan-perbedaan pandangan atau pemahaman terhadap hukum Islam itu, yang tentu saja melahirkan pula perbedaan dalam pengamalan. Faktor tersebut meliputi perbedaan mereka dalam berdalil, perbedaan mereka dalam menilai kualitas atau status suatu nas, terutama hadis, perbedaan metodologi yang mereka gunakan dalam menghadapi dalil-dali yang saling bertentangan (ta`ârudh al-adillah), dan perbedaan mereka dalam persoalan kebahasaan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kebahasaan yang melatarbelakangi perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, yaitu pertama pemaknaan terhadap suatu kata yang terdapat dalam ayat-ayat hukum. Hal itu meliputi pemaknaan terhadap huruf jar, huruf `ataf, penentuan makna suatu kata kerja dan kata benda yang berlafal musytarak. Kedua penentuan persoalan yang ditunjuki oleh suatu isim isyârah. Ketiga penentuan tempat pengembalian isim dhamîr yang terdapat dalam ayat-ayat hukum. Keempat penentuan cakupan dan kualitas makna suatu lafal, yang meliputi keberlakuan umumnya sebuah lafal dan pentakhshishannya, kualitas suatu perintah dan larangan, serta mutlaq dan muqayyad-nya sebuah lafal. Dan kelima pemaknaan hakiki dan majazinya suatu lafal Itulah lima persoalan kebahasaan yang selalu diperdebatkan oleh para mujtahid, yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat mereka dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Dan selanjutnya perbedaan itu melahirkan pula perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam. Perbedaan pendapat para ulama yang disebabkan oleh persoalan kebahasaan ini mencakupi semua bagian hukum Islam tersebut, baik persoalan yang menyangkut dengan persoalan ibadah ataupun yang menyangkut dengan persoalan mu`amalah. Persoalan ibadah mencakupi hal-hal yang berkaitan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan persoalan mu`amalah mencakupi pula hal-hal yang berkaitan dengan makanan, perkawinan, dan lain sebagainya. Persoalan kebahasaan kadang-kadang tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi munculnya perbedaan pendapat dalam menafsirkan suatu ayat hukum atau menetapkan suatu hukum. Sering sekali alasan kebahasaan yang dipegangi oleh seorang mujtahid ditopang pula dalil lain, seperti hadis, qiyas dan lain sebagainya. Pustaka Acuan Al-Qur’an al-Karim. `Abd al-Wahab `Abd al-Salam. Atsru al-Lughah fî Ikhtilâfi al-Mujtahidîn. Kairo: Dar al-Salam, 2000. Abu Zahrah, Muhammad. Ushûl al- Fiqh. t.t.p: Dar al-Fikri al-Arabi, t.t. al-Ahdal, Muhammad bin Ahmad bin `Abd al-Bari. al-Kawâkib al-Durriyah Syarh Mutammimah al-Ajrumiyah. Surabaya: Toko Imam. t.t. al-Damanhuri, Ahmad. Îdhâh al-Mubham min Ma`âni al-Sulam. Cerebon: Syirkah Mathba`ah Indonesia, t.t. Ghulayaini, Musthafa. Jâmi` al-Durûs al-`Arabiyah. Bairut: al-Maktabah al-`Asriyah, 1989. Ibn Katsir, `Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ’ Ismâ’il. Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm. Bandung: Syirkah Nurasia, t.t. Ibn Manzur, Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim. Lisân al-`Arab. Bairut: Dar al-Fikr, 1990. Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidâyah al-Mujtahid fî Nihâyah al-Muqtashid. Semarang: Usaha Keluarga, t.t. al-Jazîrî, Abdurrahmân. Kitâb al-Fiqh `Alâ Madzâhib al-Arba`ah. Bairut: Dâr Ihyâ’ al-Turats, 1969. al-Jawi, Syekh Muhammad Nawawi.al-Tafsîr al-Munîr li Ma`âlim al-Tanzîl Jilid I. Bandung; Syirkah al-Ma`arif., t.t. Khallaf, Abd al-Wahhab. `Ilm Ushûl al-Fiqh. Kuwait: t.p, t.t. al-Khthîb, Muhammad al-Syarbayni. Al-Iqnâ` fî Halli Alfâzh Abî Syujâ`. Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub, t.t. Kadar M. Yusuf. Tafsîr Ayât Ahkâm; Tafsir Tematik Ayat-ayat Mengenai Hukum. Jakarta: Amzah, 2011. al-Kaḥlani, Muhammad Ibn Isma`il. Subul al-Salâm. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t. Muslim. Shahîh Muslim. Bandung: Dahlan. t.t. al-Maraghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Bairut: Dar al-Fikr, 1974. Sâbiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Bairut: Dâr al-Fikr, 1983. al-Shâbûni, Muhammad Ali. Rawâ’i` al-Bayân Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Dimasyq: Dâr al-Qalam, 1990. al-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwah al-Tafâsâr. Bairut: Dar al-Jayl. t.t. al-Thabari, Abî Ja`far ibn Jarîr. Jâmi` al-Bayân Ta’wîl Âyi al-Qur’ân. Bairut: Dâr al-Fikr, 1988. al-Tirmîdzi, Abi `Isa Muhammad bin `Isa bin Surat. Sunan al-Tirmîdzi wa huwa al-Jâmi` al-Shahîh. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t. Tawilah, Abdul Wahab Abdus Salam. Atsr al-Lughah fî Ikhtilâfi al-Mujtahidîn. Kairo: Darus Salam, 2000. Tim Penyunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. al-Qurthubi, Abû `Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshâri. Al-Jâmi` li Aḥkâm al-Qur’ân, t.t.p: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1954. al-Qâsimi, Muhammad Jamâl al-Dîn. Mahâsin al-Ta’wîl. t.t.p: `Isâ al-Bâbi al-Halabi. t.t. al-Qardhawi,Yusuf. Fiqh al-Zakah. Bairut: Muassasah al-Risâlah, 1991. Zarzur, Muhammad Adnan. `Ulûm al-Qur’ân; Madkhal Ilâ Tafsîr al-Qur’ân wa Bayâni I`jâzih. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1981. al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.

Kamis, 05 Mei 2011

Arah Pembangunan Pendidikan dan Ekonomi

ARAH PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN EKONOMI
Oleh: Lailatul Qadar

I
Pendidikan merupakan lembaga utama yang memainkan pranan penting dalam membangun dan menumbuh kembangkan peradaban. Maju mundurnya suatu pradaban ditentukan oleh pendidikan. Bahkan, pradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan pernah muncul tanpa ada lembaga yang mengarahkan manusia ke arah tersebut. Karena manusia terlahir kedunia tidak memiliki daya dan ilmu yang dapat membuatnya berkembang lebih maju, maka pendidikanlah yang membangun daya dan pengetahuan tersebut dalam jiwa manusia. Al-Qur’an menegaskan :
Dan Allah-lah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui seuatu apapun. Dan Dia memberi kamu pendengaran penglihatan dan hati agar kamu bersyukur .
Dalam keadaan ketidaktahuan manusia itu, Allah membekalinya dengan indera baik indera zahir maupun indera batin. Melalui indera itulah manusia dapat mengetahui sesuatu.
Indera manusia yang meliputi, indera zahir, batin, dan indera qalbu merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan. Melalui tiga indera itulah ilmu pengetahuan sampai ke dalam jiwa manusia. Pendidikan merupakan wadah tempat manusia berinteraksi, dengan menggunakan indera, dimana melalui indera itu ilmu masuk ke dalam jiwa atau kalbu yang pada akhirnya melahirkan sikap dan perilaku serta pradaban.
Bahkan lebih jauh, pendidikan tidak hanya membangun saja tetapi juga memberikan pola, warna, atau model terhadap peradaban itu sendiri. Justru karena itu, pola pendidikan yang berbeda akan melahirkan model dan bentuk peradaban yang berbeda pula. Pola pendidikan sekuler akan melahirkan pradaban yang sekuler. Demikian pula sebaliknya; pendidikan islami akan melahirkan pradaban islami.
Al-Qur’an memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini. Hal itu ditandai dengan gagasan awal al-Qur’an mengenai pendobrakannya terhadap tabir kebodohan dan keterbelakangan melalui perintah membaca, dimana membaca itu merupakan aktivitas belajar yang tentu saja bagian dari kegiatan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kata kunci untuk kemajuan bangsa. Maka kemajuan suatu negara selalu diukur dengan mutu dan penyelenggaraan pendidikan yang dimiliki oleh bangsa tersebut.
II
Selain pendidikan, Islam mempunyai perhatian yang sangat kuat terhadap pembangunan ekonomi dan mengangkat derajat masyarakat miskin. Banyak perintah dan sanjungan kepada orang yang kaya. Islam misalnya memerintahkan agar umatnya berzakat. Orang tentu tidak mungkin berzakat, tampa memiliki kekayaan. Dalam suatu ungkapan dikatakan pula “ yadul `ulya khairun min yadi sulfa” (tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah). Orang tidak mungkin memberi tampa memiliki harta lebih dari kebutuhannya. Ini maknanya, Islam menuntut umatnya agar bekerja keras agar menjadi orang kaya. Sebab kemiskinan, pada hakikatnya mempunyai korelasi dengan kemalasan dan kebodohan.
Istilah miskin yang telah menjadi kosa kata Bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu sakana yang secara harfiah berarti “diam” atau “tidak bergerak”. Maka kekurangan harta atau ketidakmampuan mencukupi kebutuhan hidup disebabkan oleh karena “diam” kurang usaha atau bahkan tidak mau bergerak sehingga berdampak kepada kemiskinan.
Mungkin yang menjadi pertanyaan disini adalah kenapa orang tidak mau berusaha, atau kenapa orang diam tidak mau bergerak? Ada dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini, yaitu tidak ada modal usaha atau tidak tahu apa yang akan dilakukan dan bagaimana berusaha. Untuk menjawab persoalan pertama (tidak ada modal), pemerintah mesti menyusun program-program yang dapat memberikan modal kepada masyarakat miskin tersebut. Dan kata kunci menjawab persoalan kedua (tidak tahu apa yang akan diusahakan) adalah pendidikan dan pelatihan. Maka kedua kunci jawaban ini mestilah bersinarji berjalan seiring dan relevan.

III
Tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa ternyata pendidikan dan peningkatan pendapatan belum menjamin kenyamanan dan kebahagiaan bagi manusia, seperti yang terlihat di negara-negara maju; banyak orang bunuh diri atau membunuh orang lain. Bahkan di negeri kita sendiri, bermunculan orang-orang kaya dan orang-orang berpendidikan yang sombong dan egois. Mereka “memangsa” manusia bahkan menggrogoti negaranya sendiri dengan tindakan atau perbuatan menyimpang yang mereka lakukan. Untuk itu pembangunan pendidikan dan ekonomi mestilah berbasis iman dan akidah tauhid serta mengadopsi model pendidikan Islam.
Pendidikan yang ditawarkan al-Qur’an memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan pendidikan konvensional. Perbedaan itu paling tidak terlihat pada perinsip dasar bangunan pendidikan tersebut, pendekatan belajar, orientasi penyelenggaraannya, dan sumber ilmu. Perbedaan-perbedaan itu mengimplikasikan corak, pola, dan model yang berbeda pula antara pendidikan Islam dengan pendidikan konvensional. Prinsip dasar pendidikan Islam itu adalah akidah tauhid dan Islam memandang ilmu yang dipelajari itu bersumber dari Allah. Maka pembelajarannya bercorak imani, dan pendekatan dalam pembelajarannya bernuansa akidah tauhid. Demikian pula orientasinya yang juga menuju penguatan keimanan, dan pembelajarannya selalu dilakukan dengan pendekatan spiritual. Sebab, Islam memandang bahwa ilmu itu bersumber dari Allah, maka spiritual menjadi suatu pendekatan yang tidak bisa diabaikan.
Sebaliknya, pendidikan konvensional tidak mempertimbangkan hal tersebut. Maka keimanan tidak selalu dijadikan rujukan dalam penyelenggaraannya, sehingga lahirlah paham sekuler yang ujungnya kesombongan dan keangkuhan.
Ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an berupa akidah tauhid, akhlak mulia, dan aturan-aturan mengenai hubungan vertikal dan horizontal ditanamkan melalui pendidikan dan pelatihan. Paradigma masyarakat tehadap harta, kedudukan, serta ilmu yang dimilikinya mestilah dibangun atas dasar iman. Dan nuansa ibadah mestilah melekat pada krangka berpikir dan menilai suatu objek dalam setiap kegiatan. Hal ini hanya bisa ditanamkan melalui pendidikan yang berbasis imani.
IV
Untuk membangun kota Pekanbaru kedapan sebagai kota bertuah yang berbudaya melayu dan islami, maka pilar pendidikan dan ekonomi merupakan kata kuncinya. Kedua pilar pembangunan ini mestilah beriring sejalan. Kedua mempunyai basis yang sama, yaitu iman dan amal saleh serta mempunyai arah yang sama yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan dalam naungan ridha dan kasih sayang Allah. Kota seperti inilah yang disebut oleh al-Qur’an dengan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.
















DAFTAR RUJUKAN


Al-Qur'an al-Karim

`Abduh, Muhammad. Al-A`māl al-Kāmilah. Bairut; al-mu’assasah al-`Arabbiyah. 1972.

A.M. Saefuddin. Desekularisasi Pemikiran: Lndasan Islamisasi. Bandung. Mizan. 1991.

Ahmad al-Sawi. Al-Sawi `Ala al-Jalalayn Jilid III. t.tp; Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah `Isa al-Babi al-Halabi. t.th.

Farhan, Ishaq Ahmad. Al-Tarbiyah al-Islāmiyah Bayna al-Asālah wa al-Mu`āsarah. Jordan; Dar al-Furqan 1991.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Mishkat al-Anwār. Kairo; Dar al-Qawmiyah. 1963

Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta; PT. Al-Husna Zikra. 1995.

Hijazi, Muhammad Mahmud. Al-Tafsīr al-Wādih Jilid III. Bairut; Dar al-Jayl. 1993.,

Ibn Manzur, Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim. Lisān al-`Arab Jilid. Bairut; Dar al-Fikr. 1990.,

al-Isfihani, al-Raghib. Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'ān. Bairut; Dar al-Ma`rifah. 2000

al-Jamali, Muhammad Fadhil. Nahwa Tawhīd al-Fikr al-Tarbawi fi al-cĀlam al-Islāmi. T.tp; Dar al-Tunisiyah. 1978.

Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Pekanbaru; Infinite Press. 2004.

Nashwaty, `Abd al-Majid. `Ilm al-Nafs al-Tarbawi. Jordan; Dar al-Furqan. 1996.

`Uthman, `Abd al-Karim. Al-Nizami al-Siyasi fi al-Islam. Bairut; Dar al-Irsyad. 1968.

al-Zarnuji, Ibrahim ibn Isma'il. Ta`līm al-Muta`allim Tarīq al-Ta`allum. Semarang; Karya Taha Putra. t.th.

Rabu, 21 Juli 2010

FILSAFAT AL-QUR'AN :

A. Pendahuuan
Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini bagaikan orang dalam perjalanan menuju suatu tempat, di mana dia tidak tahu arah yang dapat menyampaikannya kepada tujuan tersebut, bahkan juga terkadang keliru dalam menentukan tujuan hidup, karena ketidaktahuannya tentang hakikat kehidupan ini. Dalam kehidupan ini terdapat pula banyak hal yang dapat menyesatkan manusia, dan banyak jalan atau idiologi yang menggoda di mana masing-masing idiologi menjanjikan kebahagiaan bagi manusia. Jika manusia tidak selektif dalam memilih manhaj hidupnya, maka dia akan menyesal. Sebab, Iblis sebagai musuh manusia selalu berpenampilan meyakinkan dalam menggoda agar manusia menuruti jalannya. Iblis telah bersumpah, bahwa dia benar-benar akan menduduki jalan Tuhan untuk menggoda manusia agar manusia tidak mengikuti jalan itu. Dia juga berjanji akan datang menggoda dari depan, belakang, dari kiri, dan dari kanan . Jadi, keselamatan manusia benar-benar terancam. Iblis setiap saat menggunakan kesempatan menghancurkan kebahagiaan manusia.
Tuhan Maha Kasih, Dia tidak rela manusia itu tersesat maka Dia-pun mengirimkan para rasul dengan membawa risalāh ilāhiyah untuk menyelamatkan manusia. Dia menurunkan al-Qur'an kepada Muhammad saw. memberikan petunjuk jalan kehidupan. Hidayah al-Qur'an, yang dibawa Muhammad saw, berguna bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam tetapi juga umat lainnya, seperti yang digambarkannya bahwa ia sebagai hudan li al-nās dan rahmah li al-`ālamīn . Kitab Suci tersebut menjelaskan arti atau hakikat kehidupan dan segala yang ada. Apa sesungguhnya kehidupan ini? Dari mana semua yang ada ini berasal? Serta apa manfaatnya bagi manusia?. Al-Qur'an memberikan jawaban terhadap persoalan ini. Bahkan perbincangan mengenai hal tersebut tidak hanya menyangkut alam ini tetapi juga manusia itu sendiri.
Al-Qur'an memperbincangkan semua persoalan di atas. Bahkan Kitab Suci ini tidak hanya memperbincangkannya saja, tetapi mendorong manusia agar mencari tahu tentangnya. Al-Qur'an menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan segala yang maujud. Manusia dituntut mengkaji fenomena alam, yang meliputi benda-benda dan sistem yang berlaku padanya, agar manusia mempunyai pengetahuan mengenainya. Al-Qur'an tidak hanya menuntut manusia agar memiliki pengetahuan mengenai fenomena alam dan sistem yang berlaku padanya saja, tetapi lebih jauh dari itu, manusia dituntut pula mengkaji sehingga dikatahui sumber utama fenomena dan penentu sistem yang berlaku. Artinya, Islam memandang pengkajian terhadap fenomena alam dan penemuan hukum alam mengenainya belumlah cukup. Ia mesti berorientasi kepada Penentu Utama dan berujung kepada pengakuan atau pembentukan serta pengembangan akidah tauhid, di mana Allah sumber segalanya; tidak hanya sumber kewujudannya tetapi sumber pengetahuan mengenainya. Sebab Dia Penentu dan Pembuat, justru itu pengetahuan mengenainya juga bersumber dari-Nya.
Tidak ada yang tersisa dalam perbincangan al-Qur'an mengenai persoalan di atas , sekalipun sebenarnya manusia perlu melakukan penafsiran-penafsiran agar lebih dipahami secara rinci dan ditail yang tentu saja penafsiran itu bisa sesuai dengan apa yang Allah maksudkan atau juga bisa tidak. Ia memuat gagasan, pandangan, dan ide mengenai segala sesuatu – tentunya dalam perspektif Islam yang bisa saja berbeda dengan lainnya - yang berkiatan dengan manusia dan kemanusiaan, termasuk ilmu pengetahuan. Gagasan dan pandangan tersebut merupakan pesan-pesan ilahi kepada umat manusia melalui Muhammad saw, di mana jika dituruti dapat membuat manusia hidup harmonis.
Kitab Suci ini juga banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan, mulai dari dorongan terhadap manusia menguasai ilmu sampai kepada fenomena alam yang menyimpan rahasia ilmu pengetahuan tersebut. Manusia dituntut membuka rahasia itu sehingga dapat diketahui dan dapat pula digunakan bagi kepentingan manusia hidup di dunia dan di akhirat. Motivasi al-Qur'an inilah yang membangkitkan semangat tokoh Islam masa klasik menekuni ilmu pengetahuan. Mereka merupakan mata rantai yang menghubungkan kemajuan ilmu masa Yunani dengan kegemilangan ilmu pengetahuan di masa sekarang ini. Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan modern tidak dapat dipisahkan dari mereka. Artinya, Islam sangat besar sumbangannya atas kemajuan ilmu pengetahuan modern termasuk kemajuan yang dialami Barat .
Penguasaan ilmu oleh umat Islam diilhami oleh al-Qur'an. Maka nuansa ilmu termasuk aktivitas pencariannya dikalangan Islam berbeda dari nuansa serta aktivitas yang dilakakukan oleh dunia Barat yang sekuler. Bandingkan, misalnya, model belajar Ibn Sina dengan Sigmund. Yang pertama, mempelajari pengetahuan betul-betul berangkat dari ketauhidan sehingga proses belajar dan pendekatan pembelajarannya juga mengarah kepada ketauhidan sucian kesucian akidah. Sedangkan yang terakhir, berangkat dari tataran yang tidak memiliki kemurnian akidah sehingga hasilnya juga melahirkan akidah yang kotor dan pandangan yang negatif terhadap manusia dan ajaran wahyu yang bersifat normativ.
Perbincangan di atas mengambarkan perbedaan-perbedaan paradigma, dimana perbedaan itu tentunya melahirkan hasil yang berbeda juga. Perbedaan pandangan mengenai hakikat wujud dan mawjud adalah berkaitan dengan sikap terhadap wujud atau mawjud itu sendiri. Maka membangun sikap dan pradaban islami perlu dimulai dari meletakkan pondasi berpikir islami, kemudian sama-sama berangkat membangun dari pondasi itu. Pondasi itulah yang penulis maksud dengan ontology dan epistemology al-Qur’an dalam tulisan ini. Hal ini berlaku pada semua sector pembangunan, mulai dari pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sampai kepada pembangunan fisik.
Bangunan suatu sistem atau kerangka berpikir tidak dapat dipisahkan dari pandangan terhadap tiga hal, yaitu alam, manusia dan kehidupan . Sebab ketiga hal inilah yang menjadi perbincangan dan fokus utama dalam segala sistem yang dibentuk dan dibangun manusia, termasuk bangunan ilmu pengetahuan. Di mana tiga hal itulah yang menjadi garapan ilmu pengetahuan. Apa dan bagaimana manusia itu sesungguhnya, baik secara pribadi maupun dalam kaitannya dengan orang lain? Apa dan bagaimana sesungguhnya alam yang ditempati manusia? Dan apa hakikat kehidupan ini? Maka prbedaan dalam melihat ketiga hal tersebut, baik konsep maupun keterkaitannya dengan yang lain, melahirkan pula perbedaan pandangan, gagasan dan ide mengenai sistem atau kerangka berpikir. Mazhab materialisme melihat ketiga hal itu dengan pendekatan materialis, maka lahirlah sosialis dan kapitalis. Mazhab ini hanya melihat alam dan kehidupan dari aspek material dan keuntungannya secara material pula bagi manusia. Islam melihatnya dari aspek immateri, dimana aspek material dijadikan sebagai jembatan menuju kebahagiaan immateri yang abadi. Maka kerangka berpikir islami dalam melihat semua aspek kehidupan mempunyai oreantasi ukhrawi; segalanya mesti diukur dengan aspek ukhrawi tersebut. Untuk itu Islam memandang, bahwa dunia dan akhirat itu berpadu. Dan manusia dalam menjalani kehidupan ini mestinya menyatukan kedua hal tersebut, sehingga tidak terjadi komplik kepentingan dan dikotomi; di satu sisi adanya ketaatan tetapi di sisi lain munculnya kejahatan dalam peribadi yang sama.

B. Ontologi Qur'ani
Ontologi berasal dari bahasa Yunani ontologia, yaitu ilmu mengenai makhluk dan hakikatnya. Secara istilah, ontologi merupakan kajian yang berusaha menjawab masalah mengenai sifat pokok hal ihwal, apakah sesuatu itu satu atau banyak atau bagaimana macamnya . Secara singkat, Haidar Bagir mendefinisikan ontologi itu sebagai "ilmu tentang hakikat yang ada, baik yang wujud maupun yang mawjūd . Berdasarkan definisi ini, dapat ditegaskan bahwa ontologi merupakan suatu kajian filsafat yang berkaitan dengan hakikat (māhiyah) sesuatu; apa hakikat kenyataan ini sebenarnya? Dari mana ia berasal, bagaimana keberadaannya, dan kemana ia berakhir? Atau dengan kata lain, bahwa ontologi berkaitan dengan filsafat wujud. Ia mengkaji tentang hakikat alam; dari mana alam dan segala isinya ini berasal, bagaimana keterkaitan antara suatu wujud dengan wujud lainnya, serta bagaimana wujud-wujud itu akan berakhir? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang selalu dilontarkan seputar ontologi.
Terdapat dua mazhab yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama naturalisme, yaitu suatu aliran berpandangan bahawa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang ada pada alam itu sendiri. Untuk menghindar dari gejala-gejala alam yang dapat membahayakan manusia, ia perlu dipelajari dan manusia harus menyesuaikan diri dengan hukum alam yang berlaku pada gejala tersebut. Menurut paham ini, tidak ada kaitan antara fenomena alam dengan kekuatan ghaib. Kejadian hidup dan mati, misalnya, merupakan gejala alami sesuai dengan hukum alam tersebut. Seolah-olah aliran ini menafikan pranan Tuhan dalam suatu pristiwa atau gejala alam. Menjaga kelestarian alam dan menghindarkan kerusakannya, yang juga berakibat buruk kepada manusia, dapat dilakukan dengan pendekatan ilmiah secara empirik. Dan kebahagiaan yang paling utama bagi manusia adalah kebahagiaan material. Maka tidak perlu aturan-aturan normatif religius bagi manusia. Moral hanya diartikan kepada hal-hal yang disepakati manusia untuk mendukung kebahagian material tersebut. Paradigma seperti ini melahirkan pergaulan bebas, hedonisme dan tindakan amoral lainnya.
Al-Qur'an menyebut aliran ini dengan al-dahr atau kaum dahriah; "wa qalū mā hiya illā hayātunā al-dunyā namūtu wa nahya wa mā yuhlikunā illā al-dahr" . Menurutnya, kehidupan dan kematian hanyalah pristiwa alam; tidak ada kebangkitan dan perhitungan. Mereka mengingkari hari kebangkitan; alam ini berputar silih berganti, suatu bangsa musnah kemudian digantikan oleh bangsa lain. Tidak ada kiamat, pendapat mereka ini sama dengan pendapat para filosof yang mengingkari adanya Pencipta. Mereka berkeyakinan, bahwa setiap 36000 tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula. Hal ini terus terjadi tanpa henti .
Aliran naturalisme ini melahirkan paham materialisme dan empirisme. Sesuatu itu dianggap berguna jika menguntungkan kepada manusia secara material, demikian pula sebaliknya. Dan suatu kajian dapat dikatakan ilmiah jika dapat dialami atau dideteksi oleh indera manusia. Dan bahkan, paham natualisme ini jugalah yang membidani lahirnya sosialime dan kapitalisme, dalam dunia ekonomi. Maka kajian-kajian agama tidak dianggap ilmiah, apa lagi kajian ketuhanan. Paham ini tidak sekedar hanya dalam pemikiran manusia, tetapi juga mempengaruhi motivasi kerja dan tindakan. Maka segala bantuan hanya diberikan jika menguntungkan kepada sipemberi baik secara fisik maupun non-fisik, walaupun selalu diucapkan atas nama kemanusiaan tetapi tidak dapat dipungkiri mesti ada umpan balik yang diharapkan melalui bantuan tersebut.
Kedua supranaturalisme, mazhab ini berpendapat, bahwa alam ini tergantung dan diatur oleh sesuatu yang ghaib. Ia lebih tinggi atau lebih kuasa dari alam nyata. Ujud yang bersifat ghaib inilah yang mengatur alam; bencana alam, penyakit, kesenangan dan kebahagiaan yang didapati manusia bersumber dan ditentukan oleh yang ghaib tersebut. Justru itu, muncullah sesembahan dan pemujaan kepada hal yang ghaib dalam rangka menghindarkan penyakit dan segala yang tidak diinginkan, walaupun bertentangan dengan rasio.
Islam mengakui yang ghaib dan pranan yang dimainkannya mengatur alam dan segala isinya, sehingga ketakwaan sebagai karakteristik manusia paripurna diukur dengan keberimanannya kepada yang ghaib tersebut. Namun di sisi lain Islam juga mengakui kekuatan yang terdapat pada alam seperti yang diyakini oleh kaum naturalisme. Tetapi, kekuatan yang terdapat pada alam tetap bergantung kepada Yang Ghaib tersebut. Atau dengan kata lain, Islam mengakui hukum alam, tetapi hukum alam itu dibuat dan ditentukan oleh Tuhan. Tumbuh-tumbuhan, misalnya, tidak bisa hidup dan berbuah tanpa air, karena memang ada sistem yang mengatur bahwa kehidupan tumbuhan itu tergantung kepada air. Dan yang menetapkan sistem ketergantungan itu adalah Allah swt. Al-Qur'an menjelaskan :
Dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu Dia keluarkan buah-buahan dengan sebab hujan tersebut .
Jadi, dalam perspektif Islam, segala wujud ini tergantung kepada Allah dan ditentukan oleh-Nya, baik wujud fisik maupun wujud hubungan antar fisik. Tidak ada wujud yang tidak tergantung kepada Tuhan. Ibn Sina membagi wujud ini kepada dua macam, yaitu wājib al-wujūd dan mumkin al-wujūd. Yang pertama wujud yang tidak tergantung dengan wujud lain. Wujud-Nya merupakan wujud mutlak, di mana wujud lain-Nya tergantung kepada-Nya. Dan yang terakhir wujud nisbi, keberadannya tergantung kepada wājib al-wujūd; wujudnya tidak akan pernah muncul tanpa kehendak wujud mutlak atau wājib al-wujūd. Alam, manusia dan kehidupan ini merupakan wujud yang mumkin al-wujūd.
Dalam al-Qur’an ditegaskan, bahwa salah satu sifat Allah itu adalah al-Samad, seperti yang tergambar dalam surat al-Ikhlās ayat 2, yaitu Allah al-Samad. Kata tersebut berarti al-sayd al-maqsūd fī qadā’ al-hājāt (Tuan yang dituju dalam rangka memenuhi segala kebutuhan). Jadi, alam dalam arti luas, yaitu “segala yang ada selain Allah’ (kullu mā siwa Allah), mempunyai ketergantungan kepada Allah. Banyak bentuk dan aspek ketergantungan alam itu kepada Allah, yaitu ketergantungan penciptaan (`alāqah al-khalq), ketergantungan penganturan (`alāqah al-tadbīr), dan khusus bagi manusia terdapat pula ketergantungan pelimpahan ilmu (`alāqah fyd al-`ilm). Mengenai yang terakhir ini akan dibahas dalam bagian epistemology.
Allah sebagai pencipta segala yang mawjūd ini. Ada dua macam mawjūd di alam ini. Pertama benda-benda yang terdapat di alam, baik alam al-shahādah ataupun alam al-ghayb. Di alam syahadah terdapat manusia, tumbuhan, binatang, benda angkasa, dan lain sebagainya. Banyak ayat al-Qur’an yang mengambarkan penciptaan langit dan bumi serta segala isinya oleh Allah swt. Dan di alam ghaib terdapat malaikat, sorga, neraka, dan lain sebagainya. Wujud semua ini bergantung Allah; Dialah yang mewujudkan dan meniadakannya. Maka wujud dan tiadanya bergantung kepada Tuhan.
Kedua, Tuhan menciptakan atau menetapkan keterkaitan atau saling ketergantungan antar benda-benda yang ada ini. Allah menciptakan makhluk hidup dan menciptakan air, misalnya, serta juga menciptakan ketergantungan makhluk hidup kepada air. Allah menciptakan api dan juga menciptakan system membakar pada api. Ketergantungan itu merupakan suatu sistem yang juga Allah ciptakan. Dia tidak hanya mencipta benda yang ada di alam ini, tetapi juga menciptakan sistem yang berlaku pada benda tersebut. Dia tidak hanya menciptakan alam, tetapi juga hukum alam. Sistem atau hukum yang telah diciptakan-Nya, jika Dia menghendaki pada kasus-kasus tertentu, bisa Dia ubah. Jika ini terjadi, maka inilah yang disebut dengan mu`jizat, karamat, dan ma`unah. Al-Qur`an menegaskan waja`alnā mina al-mā’i kulla shay’in hayyin (Kami-lah yang menjadikan segala makhluk hidup itu dari air) . Dalam surat yang lain ditegaskan pula:
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman .
Dengan tegas terlihat dalam ayat di atas system ketergantungan tumbuh-tumbuhan kepada air, tetapi kendali utama tetap berada pada Allah. Jadi, Tuhan tidak hanya menciptakan benda-benda yang ada tetapi Dia juga mencipta system yang berlaku pada semua yang maujud ini.
Selain ketergantungan penciptaan, segala yang mawjud ini juga memiliki ketergantungan pengaturan (`alāqah al-tadbīr) kepada Allah. Alam dan segala isinya secara terus menerus berada dalam pengaturan-Nya. Dalam al-Qur’an banyak digunakan istilah tadbīr, yang dapat diartikan kepada mengatur atau pengaturan. Kata tersebut dalam al-Qur’an terulang sebanyak lima kali, empat dalam bentuk fi`il mudāri` dan satu lainnya dalam bentuk isim fa`il, yaitu yudabbir dan al-mudabbirāt. Keempat istilah yudabbir (dalam sighat fi`il mudari`) itu dinisbatkan kepada Allah. Sedangankan kata al-mudabbirāt (sighat isim fa`il jama` mu’annas) dinisbatkan kepada malaikat, yaitu fa al-mudabbirāti amra (Dan malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia). Al-Sābuni menafsirkan ayat itu kepada al-malā’ikatu tudabbir shu’ūn al-kawn bi amrihi ta`āla fi al-riyīhi, wa al-amtār, wa al-arzāq wa al-‘a`amār … wa ghayri dhalika min shu’ūn al-dunyā . Hal ini bermakna, bahwa kendali utama pengaturan dan keteraturan alam ini berada pada Allah. Penggunaan fi`il mudari` dalam menerangkan pengaturan terhadap segala mawjud ini yang dinisbatkan kepada Tuhan mengisyaratkan bahwa pengaturan itu berlaku secara kontinyu atau istimrār.
Perbincangan di atas menunjukkan, bahwa alam fisik (`alam al-shahādah) dapat dikategorikan kepada tiga aspek, yaitu manusia, alam, dan kehidupan. Ketiga wujud ini merupakan sesuatu yang maujud, dimana wujudnya mempunyai ketergantungan kepada wujud mutlak yaitu Tuhan. Keberadaannya hanya bersifat mungkin tidak bersifat wajib, sebab wujudnya mempunyai ketergantungan kepada Wujud Mutlak. Dan sesuatu yang wujudnya tergantung kepada wujud lain, keberadaannya sama dengan tiada sesuai dengan kehendak yang mewujudkannya. Ketika ia telah diwujudkan, maka ia mempunyai kewajiban terhadap yang mewujudkannya itu.
Segala yang maujud, jika dilihat dari dimensi waktu dan tempat, dapat dikategorikan kepada dua macam yaitu sesuatu yang berada pada alam al-shahādah yang dapat dikaji secara empiris dan sesuatu yang berada pada `alam al-ghayb yang tentu saja tidak dapat dikaji secara empiris. Keberadaannya hanya dapat dibuktikan dengan rasional dan pemberitahuan dari yang mewujudkannya.
Dan apabila dilihat dari aspek kepatuhanya, semua yang maujud ini dapat pula dikategorikan kepada wujud ijbāri (wujud yang tidak mempunyai pilihan atau wujud keterpaksaan) dan wujud ikhtiyāri (wujud yang memiliki pilihan). Termasuk dalam kategori wujud pertama semua makhluk selain manusia dan jin. Mereka tidak mempunyai pilihan selain menuruti ketentuan Allah. Al-Qur’an menyebutkan :
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki .
Dalam surat lain ditegaskan pula:
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan .
Jadi, makhluk-makhluk itu termasuk malaikat tidak mempunyai pilihan selain menuruti ketetapan-Nya.
Manusia dalam dimensi fisik atau jasmaniahnya juga termasuk makhluk ijbāri. Artinya, secara fisik manusia tidak dapat menolak ketentuan yang diberlakukan terhadapnya baik secara internal pribadinya ataupun eksternal, yaitu kaitannya dengan alam di luar dirinya. Manusia, misalnya, tidak dapat menolak kematian, sakit, perubahan fisik kecuali dengan menggunakan system yang juga telah ditetapkan-Nya. Tetapi dalam dimensi rohaniah manusia diberi hak memilih antara tunduk dan tidak tunduk kepada aturan normative yang telah Tuhan ciptakan. Dan pilihan manusia itu mempunyai konsekuensi terhadap dirinya.
Al-Qur'an memandang bahwa manusia, alam, dan kehidupan merupakan tiga rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling berkait, di mana manusia dipandang sebagai rangkaian utama yang seharusnya berusaha menjaga kelestarian rangkaian tersebut. Perlakuan manusia terhadapnya dapat merugikan atau menguntungkan manusia itu sendiri. Dan yang terpenting dalam paradigma Islam, bahwa ketiga rangkaian itu merupakan sistem yang dibangun oleh Tuhan. Maka ia tidak dapat dipisahkan dari Tuhan; semua berasal dari-Nya dan juga berakhir pada-Nya. Dalam surat al-A'rāf ditegaskan; " Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu di bumi dan Kami jadikan kehidupan untuk kamu padanya" . Jadi, al-Qur'an melihat bahwa alam dan segala isinya dibangun atas paradigma tauhid; ia berasal dari Allah dan berlau sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya baik secara tertulis dalam al-Kitab maupun terlukis di alam, dan juga menuju-Nya.
Manusia
.
Alam

Kehidupan

Skema: ontologi Qur'ani
Artinya, segala yang maujud ini berasal dari-Nya dan juga akan kembali kepada-Nya. Khusus pengembalian manusia kepada Tuhan diukur dengan sistem kehidupan yang dijalani; pergaulannya dengan alam dan bagaimana dia memaknai kehidupan yang dilewati semasa di dunia ini. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari potensi diri yang Tuhan berikan kepadanya, yang berbeda dengan maujud lain.
Hakikat manusia digambarkan al-Qur'an sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi tanah dan roh . Tanah menjadi jasad dalam bentuk prangkat-prangkat tubuh, yang mana prangat-prangkat itu saling berinteraksi yang mebuat jasad itu hidup. Sedangkan roh menjadi rohani yang dibekali dengan potensi yaitu akal dan kebenaran serta kejahatan dan ketidak adilan . Jasad menjadi makhluk ijbari yang tidak bisa memilih dan bahkan tidak punya kemauan, ia hanya menerima perintah, baik dari Allah melalui hukum alam yang Dia ciptakan maupun perintah dari kekuatan yang sedang bercokol pada jiwa. Sedangkan rohani merupakan makhuk ikhtiyari yang bisa memilih antara tidak dengan iya, atau antara menolak dengan menerima sesuai dengan kekuatan yang sedang menguasainya.
Alam (al-kawn) juga digambarkan sebagai makhluk ijbari. Ia hanya tunduk kepada Allah, sesuai dengan ketentuan dan aturan yang telah ditentukan-Nya. Alam tidak pernah melanggar aturan-aturan itu, kecuali Tuhan mengubah aturan tersebut. Aturan-aturan yang Allah tetapkan yang kemudian dituruti oleh alam, seperti bintang, matahari, bulan dan lain sebagainya adalah dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik terhadap manusia . Dan sebagai konsekuensi dari pelayanan tersebut, maka manusia mesti bersyukur kepada-Nya, yaitu menjadi makhluk yang mau memilih kebenaran dan keadilan.

C. Epistemologi Qur'ani
Kata epistemology berasal dari kata “episteme” dan “logos”. Yang pertama berarti teori (al-nazzāriyah) dan yang terakhir berarti ilmu. Maka istilah epistemology secara bahasa dapat diartikan kepada “teori ilmu” (nazzariyāt al-`ulūm) . Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat. Ia membahas persoalan konsep ilmu, jenis ilmu, sumber ilmu dan batas-batas ilmu manusia . Maka yang dimaksud dengan “Epistemologi Qur'ani” dalam kajian ini adalah teori ilmu dalam perspektif al-Qur’an atau filsafat ilmu menurut pandangan Islam; bagaimana konsep ilmu, jenis ilmu, dan sumber ilmu dalam pandangan Islam.
Secara terminology, ilmu itu dapat diartikan kepada “memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu itu” . Shaliba mendefinisikan ilmu itu kepada “memahami secara mutlak, baik tasawwur ataupun tasdīq dan baik yakin ataupun tidak” . Menurut Ikhwan al-Shafa’, seperti yang dikutip oleh al-Jihami, ilmu adalah “tasawwur hakikat sesuatu dan asalnya” . Berdasarkan definisi ini, dapat dijelaskan bahwa ada empat hal yang saling berkait dalam system ilmu, yaitu subjek yang memahami, objek yang dipahami, makna atau sūrah (forma) yang terkait dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau sūrah itu dimiliki oleh subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu adalah qalbu manusia, ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna yang ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek disini adalah segala sesuatu yang ada ini, baik empiris maupun bukan.
Dalam perspektif al-Qur'an, ilmu adalah salah satu sifat Tuhan, karena sifat inilah Dia disebut dengan `Alīm (Yang Maha Tahu). Dia adalah sumber utama ilmu pengetahuan manusia. Segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tidak tebatas, manusia hanya memperoleh secuil darinya. Sedalam apapun pengetahuan manusia mengenai sesuatu, ia tetap saja terbatas karena keterbatasan pikiran dan kemampuan potensi yang ada dalam jiwanya.
Karena ilmu bersumber dari Allah, maka berarti Allah-lah yang mengajar manusia dan menganugerahkan ilmu kepadanya. Banyak ayat al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah mengajar manusia. Di antara ayat tersebut menegaskan "Allah mengajar manusia dengan pena, Dia mengajarkan kepada manusia sesuatu yang belum diketahui . Allah mengajar manusia bertutur . Dia mengajar Nabi Muhammad sesuatu yang belum diketahui . Berdasarkan penjelasan ini, maka Allah Maha Guru bagi manusia. Dia tidak hanya sebagai Pencipta, tetapi juga mengajarnya atau sumber ilmu bagi manusia.
Ada dua cara Allah mengajar manusia, yaitu pengajaran langsung dan pengajaran tidak langsung. Pengajaran langsug adalah melalui wahyu atau ilham, seperti yang dialami oleh para nabi dan orang-orang saleh lainnya. Dan pengajaran tidak langsung adalah pengajaran melalui media, yaitu al-Kitab, fenomena alam dan potensi jiwa manusia seperti akal. Al-Ghazali menyebut yang pertama dengan istilah al-ta`līm al-rabbani dan yang terakhir dengan al-talīm al-insāni. Ketika seorang ilmuan, misalnya, menemukan suatu teori ilmiah setelah melakukan penelitian, maka itu berarti Allah telah mengajarnya melalui objek alami yang dipelajari dan potensi akal yang dimilikinya. Untuk memahami bagaimana Allah menciptakan alam dan manusia serta mengajarnya dapat dilihat dalam skema berikut :

Keterangan :
: Penciptaan

: Pewahyuan
: Penciptaan dan pelimpahan ilmu

: Pencarian ilmu

Maka dengan demikian, mengkaji ilmu pengetahuan berarti mempelajari wahyu dan fenomena alam. Keduanya merupakan "media Allah" dalam melakukan pembelajaran terhadap manusia. Ketika manusia sampai kepada suatu kesimpulan kajian atau berhasil membangun teori berdasarkan temuan kajiannya, maka dia berarti menemukan suatu hukum yang Allah diberlakukan terhadap alam.
Jadi, alam dan wahyu merupakan objek kajian manusia. Dari kedua hal inilah manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Alam – termasuk manusia itu sendiri – dan sistem yang berlaku padanya merupakan ciptaan dan ketentuan Allah. Demikian pula wahyu, ia merupakan pemberitahuan yang tersurat dari Allah sebagai Sang Pencipta kepada manusia, baik yang berkaitan dengan ajaran normativ maupun fenomena alam. Maka ketika manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari hasil pengkajiannya terhadap dua hal tersebut, maka berarti manusia telah memahami sebagian dari ketentuan Allah yang terdapat padanya. Artinya, ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia tidak pernah dapat dipisahkan dari Allah sebagai sumber ilmu tersebut.
Banyak ayat al-Qur'an yang mengambarkan, bahwa Dia-lah yang mengajar manusia, tidak kurang dari 30 ayat yang memperbincangkan persoalan mengajar yang menegaskan bahwa Allah yang mengajar manusia. Maka dengan demikian, Dia-lah sumber ilmu; setiap ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia berasal dari-Nya baik ilmu naqal maupun ilmu akal.
Penguasaan ilmu dalam perspektif al-Qur'an bukan tujuan utama pembelajaran yang dilakukannya terhadap manusia. Baginya, penguasaan ilmu hanyalah sarana atau jalan yang dapat mengantarkan manusia kepada pembentukan kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, dimana pada setiap aspek kehidupan yang dilewati tergantung kepada-Nya. Al-Qur'an selalu mendorong agar mengkaji segala yang ada ini. Ia berdialog dengan akal dan hati manusia, agar memperhatikan ufuq (penjuru) dan diri manusia itu sendiri. Mengkaji itu semua tidak hanya sekedar memenuhi komptensi kognitif dan rasa ingin tahu semata, tetapi mesti dikaji atau dipelajari sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) Allah . Maka pencarian ilmu pada hakikatnya identik dengan penanaman dan pengembangan iman.
Perbincangan di atas, selain mengambarkan sumber ilmu, juga mengambarkan sumber belajar. Ada dua hal yang menjadi sumber belajar bagi manusia, dimana melalui kedua sumber tersebutlah manusia mendapatkan ilmu yaitu wahyu dan alam. Dengan mempelajari kedua hal itu manusia dapat mengakses ilmu pengetahuan. Maka berdasarkan sumber belajar ini, Ibn Khaldun membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu `aqal. Yang pertama bersumber dari wahyu dan yang terakhir bersumber dari alam.
Maka wahyu merupakan kalamullah dan alam adalah af`ālullah. Berdasarkan ini dapat pula dikatakan, bahwa penjelasan wahyu tidak akan pernah bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Sebab, tidak mungkin perkataan Allah bertentangan dengan perbuatan-Nya. Jika ditemukan adanya pertentangan, maka dapat dipastikan telah terjadi kekeliruan dalam memhami wahyu atau fenomena alam. Dari kedua sumber belajar inilah munculnya berbagai cabang-cabang ilmu pengetahuan. Dari kajian terhadap wahyu lahirlah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kajian keislaman yang meliputi `aqidah tauhid, fiqih, dan akhlak serta segala macam ilmu yang berkaitan dengannya termasuk dorongan mengkaji alam semesta dan segala isinya. Dan dari mempelajari alam lahir pula ilmu-ilmu sosial dan eksakta.
Ilmu dalam perspektif Islam, baik yang diakses dari wahyu ataupun alam, adalah berpadu pada sumber dan tujuan tetapi berbeda dalam karakteristik dan pemanfaatannya secara duniawi. Sumbernya jelas, sebagaimana yang telah dibahas, yaitu Allah dan tujuannya ialah mengantarkan manusia kepada kemurnian tauhid dan perolehan hidayah yang pada akhirnya mewujudkan pribadi yang shaleh, baik pertikal maupun horizontal dan puncaknya kebahagiaan abadi bagi pribadi yang berlimu tersebut. Secara eksplisit, hal itu dapat dilihat dalam pernyataan al-Qur’an :
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak memperhatikan bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?. Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk .
Dan dalam hal karakteristik serta pemanfaataannya, ilmu-ilmu itu berbeda antara satu dari yang lain. Berdasarkan perbedaan karakteristik itu, ilmu dapat dikategorikan dalam berbagai bidang, demikian pula dalam hal pemanfaatan.

D. Aksiologi Qur'ani
Perbincangan di atas mengambarkan begitu eratnya kaitan ilmu dengan tauhid. Akidah tauhid dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuanlah yang membangun keimanan. Itulah sebabnya, sebelum segala sesuatu yang menyangkut ajaran Islam – baik perintah maupun larangan – dibebankan kepada manusia, maka yang pertama sekali ditekankan adalah agar banyak membaca. Karena membaca menghasilkan ilmu dan ilmu menghasilkan keimanan kepada Allah. Tentu saja yang dimaksud dengan ilmu disini segala jenis ilmu pengetahuan, yaitu baik ilmu-ilmu alam, sosial, maupun kajian normativ Islam.
Jadi, ilmu dalam perspektif al-Qur'an merupakan suatu rangkaian yang mengacu kepada keimanan dan penyadaran diri seorang ilmuan sebagai makhluk Allah, yang mempunyai ketergantungan pribadi dan sosial secara mutlak kepada Tuhan. Jika ilmu dipahami dalam kerangka seperti ini, maka ilmu sangat berguna bagi manusia. Ia tidak akan mencederai manusia itu sendiri, bahkan bertambahnya ilmu maka bertambah pula kedamaian, kesejahteraan, ketenteraman, dan keharmonisan. Karena ilmu dalam kerangka ini selain menghasilkan teknologi untuk keperluan hidup manusia, ia juga membangun moral, keperdulian kepada orang lain serta tenggang rasa.
Persoalan utama yang dihadapi manusia dewasa ini bukanlah masalah krisis ekonomi, teknologi, sumber daya alam, dan tidak pula krisis sumber daya manusia dalam bidang keilmuan. Masalah yang amat besar adalah krisis moral dan kesantunan dalam bertutur sapa, berpikir, dan bergaul dengan alam. Krisis moral ini melahirkan bencana yang amat banyak, mulai dari bencana alam sampai kepada bencana ekonomis. Padahal ilmu pengetahuan manusia sudah sangat maju, seolah-olah terlihat bahwa ilmu tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan moral.
Dalam pandangan al-Qur’an ilmu sebenarnya diharapkan dapat mengubah sikap dan moral menjadi lebih baik. Al-Qur’an menafikan persamaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Penafian itu pada hakikatya tidak hanya terletak pada kompetensi keilmuan saja tetapi juga terletak pada moral bahkan hal itu lebih utama. Kitab Suci itu menyebutkan :
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran .
Banyak ayat al-Qur’an yang mengambarkan, bahwa idealnya ilmu mendatangkan efek positif terhadap kehidupan, baik secara material maupun immateri. Seyogyanya ilmu menjadi sarana untuk mendapatkan perlindungan Tuhan, menghindarkan kezaliman dan perpecahan, melahirkan ketundukan, dan mendatangkan hidayah sehingga manusia beroleh kenyaman dalam menjalani kehidupan ini. Tetapi, memang diakui pula bahwa justru terkadang ilmu berdampak negative.
Maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana caranya agar ilmu hanya melahirkan hal-hal yang bermanfaat bagi manusia dan membuat manusia menjadi pribadi yang shaleh? Jawabannya adalah perlu prombakan pradigma belajar. Belajar segala macam ilmu pengetahuan perlu dibangun atas akidah dan kepercayaan kepada Tuhan. Dalam pandangan Islam, system pendidikan dan pembelajaran perlu dibangun atas prinsip ontology dan epistemology al-Qur’an, seperti yang telah dipaparkan di atas.

E. Penutup
Pendidikan sebagai suatu lembaga yang amat bertanggung jawab dalam mencetak sumber daya manusia dan pewarisan ilmu pengetahuan perlu dibangun atas prinsip ontology dan epistemology Qur`ani. Visi, misi, tujuan sampai kepada penentuan kurikulum mestinya mengacu kepada hal tersebut. Hal ini sangat perlu dalam rangka melahirkan ilmuan yang bermoral dan berakhlak mulia.




والله أعلم بالصواب
























DAFTAR KEPUSTAKAAN



Al-Qur'an al-Karim

Afzalur Rahman. 1981. Al-Qur'an dalam Berbagai Disiplin Ilmu (terjemahan). Jakarta: LP3S

al-Aqqad, Abbas Mahmud. 1986. Filsafat al-Qur'an; Filsafat, Spritual dan Sosial dalam Isyarat al-Qur'an (terjemahan). Jakarta: Pustaka Pirdaus.

Badawi, Abd al-Rahman. 1969. Falsafah al-`Usūr al-Wustā. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriah.

Haidar Bagir. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan

al-Husayni, Abd al-Muhsin. t.th. Al-Ma`rifah `ind al-Hakīm al-Tirmīdhi. Kairo: Dar al-Katib.

Ibn Kathir, `Imad al-Din Abi al-Fida' Isma`il. t.th. Tafsīr al-Qur'an al-`Azīm. Semarang; Thaha Putra.

Jamil Saliba. 1973. Al-Mu`jam al-Falsafi Jilid I. Bairut; Dar al-Kutub al-Lubnani.

Jirar al-Jihami. 1998. Mawsū`ah Mustalahāt al-Falsafah `ind al-`Arab. Libanon; Maktabah Libanon.

Jujun S. Suriasumantri. 1993. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Jurjani, Ali bin Muhamad. 1988. Kitāb al-Ta`rifāt. Bairut: Dar al-Kutub al-cIlmiah.

Kadar Muhammad Yusuf. Epistemologi Qur'ani dan Orientasi Pendidikan. Jurnal Potensia Volume 4 Nomor 1 Juni 2005.

Kadar Muhammad Yusuf. 2005. Pembelaan al-Qur’an Kepada Kaum Tertindas. Jakarta; Amzah.

al-Raghib al-Isfihani. 2001. Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. Bairut; Dar al-Ma`rifah.

Mukhtar Effendy. 2001. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. t.tp: PT. Widyadara.

Musa, M. Yusuf. 1988. Al-Qur'an dan Filsafat (terjemahan). Jakarta: Bulan Bintang.

Nicholas Capaldi. 1981. An Invitation of Philosophy. Buffalo New York; Prometheus Books.

al-Sabuni, Muhammad `Ali. t.th. Safwah al-Tafāsīr Jilid III. Bairut; Dar al-Jayl.

Usman, Abd al-Karim. t.th. Al-Nizām al-Siyāsi fī al-Islām. Bairut: Dar al-Irsyad.

Zakaria Stapa. at all. (Editor). 2001. Islam, Akidah dan Kerohanian. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.





























Perbincangan di atas menunjukkan begitu pentingnya pranan al-Qur'an dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Tetapi apakah tanpa Islam ilmu tidak akan maju? Pertanyaan yang sama juga dikemukakan oleh Yusuf Musa. Dia mengatakan : apakah Islam itu suatu keharusan atau tidak? Apakah orang-orang Barat itu menjadi merana karena tidak mengetahui al-Qur'an? . Yang jelas kemajuan ilmu pengetahuan pada saat ini di dunia Barat tidak ada sangkut pautnya dengan al-Qur'an. Teori-teori ilmiah yang mereka temukan, terutama bagi mereka yang tidak beragama Islam, tidak berangkat dari al-Qur'an dan juga tidak didasarkan oleh dorongan al-Qur'an. Meskipun teori-teori itu selalu terlihat sesuai dengan penjelasan al-Qur'an, karena memang alam yang dikaji merupakan ciptaan Allah sebagaimana juga al-Qur'an merupakan pesan-pesan ilahaih tertulis yang tentu saja tidak mungkin bertentangan antara pernyataan-Nya dalam tulisan dengan pernyataan-Nya dalam perbuatan.
Maka yang terpenting di sini bukan bagaimana al-Qur'an berbicara tentang teori ilmiah dan bagaimana temuan-temuan ilmiah sesuai dengan pernyataannya. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana paradigma atau bangunan ilmu itu dalam pandangan Kitab Suci tersebut, yang kemudian mengilhami kegiatan ilmiah umat Islam masa lalu. Dari bangunan kerangka itulah mereka berangkat melakukan penelitian-penelitian ilmiah, sehingga ilmu terlihat betul-betul menyatu dalam suatu kerangka tidak terkotak-kotak seperti sekarang yaitu kerangka tauhid.