Senin, 12 Juli 2010

PERSPEKTIF AL-QUR`AN TENTANG ILMU PENGETAHUAN


PERSPEKTIF AL-QUR`AN
TENTANG ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan
Islam, sebagai ajaran ilahi, kaya dengan ide dan gagasan. Paradigmanya dalam mengkaji dan menjelaskan suatu permasalahan selalu menunjukkan perbedaan dengan paradigma lainnya, terutama Barat yang non-Islam termasuk di antaranya konsep ilmu. Perbedaan Islam dan non-Islam mengenai kerangka berpikir tentang suatu persoalan, termasuk konsep ilmu, berawal dari perbedaan antara keduanya dalam memandang dan memberikan penilaian terhadap alam, manusia, dan kehidupan . Barat memandang atau menilai ketiga persoalan tersebut dari sudut material dan keuntungannya kepada manusia secara material pula. Maka berdasarkan filsafat materialismenya itu lahirlah kapitalisme dan sosialisme dalam bidang ekonomi serta empirisme dan rasionalisme dalam bidang kajian ilmiah. Mereka yang mendasarkan kerangka berpikirnya atas materialisme mutlak cenderung menolak segala sesuatu immaterial, dan menganggap sesuatu yang tidak empiris sebagai dongeng atau mitos yang mustahil wujud dan tidak perlu dikaji.
Jadi, bagi mazhab materialisme ini, hanya sesuatu yang empiris dan rasionallah yang dapat disebut dengan ilmu. Pandangan seperti ini dapat mengacaukan pikiran ilmuwan mengenai hasil kajian masa lalu, atau dapat membuat orang berpaling dari sesuatu yang subtansial dan urgen kepada sesuatu yang lain atau dari pokok kepada cabang. Hal ini misalnya dapat dilihat pada kasus psikologi. Dalam dunia modern, para psikolog tidak lagi mengkaji jiwa, yang mereka kaji hanya gejala jiwa karena jiwa tidak empiris. Dan akhirnya pembahasan tentang jiwa dianggap tidak ilmiah. Akibatnya, mereka tidak tahu apa itu jiwa. Padahal, awalnya – mulai dari filosof Yunani sampai kepada filosof Muslim – psikologi itu didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji jiwa, sebagai sumber prilaku. Tetapi, di zaman modern ini, ilmu jiwa dipahami sebagai ilmu yang hanya mengkaji perilaku saja. Jiwa didefinisikan sebagai perilaku, dan ia tidak lagi dipahami sebagai suatu subjek yang membentuk perilaku . Maka seyogyanya, kajian modern terhadap jiwa tidak bisa disebut dengan ilmu jiwa, ia lebih tepat disebut dengan ilmu tentang tingkah laku manusia.
Berdasarkan filasafat materialisme ini, maka para ilmuan cenderung mengklasifikasikan ilmu itu kepada hal-hal yang bersifat empiris saja. Auguste Comte (1798 – 1857 M), misalnya, membagi ilmu itu kepada enam macam, yaitu 1) ilmu matematika, 2) ilmu falak, 3) ilmu fisiologi, 4) ilmu kimia, 5) ilmu hayat, dan 6) ilmu sosial . Di sini terlihat, bahwa ilmu itu bersumber dari alam; orang mempelajari alam maka dia mendapatkan ilmu.
Pandangan mazhab materialisme di atas jauh berbeda dari pandangan Islam. Dimana Islam melihat alam, manusia dan kehidupan sebagai suatu sistem yang telah diatur Tuhan. Maka berdasarkan ini, pandangan al-Qur'an mengenai ilmu, sumber ilmu, subjek dan objek yang dipelajari, cara mendapatkan ilmu serta tujuan mempelajari ilmu itu sangat jelas, yaitu suatu sistem tauhidi ilahi, yaitu segala sesuatu yang dipelajari berasal dari Tuhan dan objek-objek yang dipelajari itu berlaku sesuai dengan ketentuan atau ketetapan-Nya.

B. Konsep Ilmu
"Ilmu" merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu `alima yang terdiri dari huruf `ayn, lam, dan mim. Al-Qur'an sering menggunakan kata ini dalam berbagai sighat (pola), yaitu masdar, fi`il mudari`, fi`il madi, amr, isim fa`il, isim maf`ul, dan isim tafdil. Antara lain, kata al-`ilm terdapat dalam firman Allah:
Maksudnya: Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus .
Kata “al-`ilm” dalam ayat ini berarti pengetahuan yang berisi risalah ilahiah yang diterima Ibrahim dari Allah. Risalah itu berisi ajaran tauhid dan ketentuan-ketentuan Allah yang mesti dipatuhi manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini juga mengambarkan tentang guna atau manfaat suatu pengetahuan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat mengantarkan manusia ke jelan yang benar, yang penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan.
Secara harfiah "ilmu" dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu itu . Saliba mendefiniskan ilmu itu dengan "Memahami secara mutlak, baik tasawwur maupun tasdiq dan baik yakin maupun tidak . Menurut Ikhwan al-Safa', seperti yang dikutip Jihami, ilmu adalah tasawwur hakikat sesuatu dan asalnya . Berdasarkan definisi ini, ada empat yang saling berkait dalam sistem perolehan ilmu yaitu subjek yang memahami, objek yang dipahami, makna atau surah (form) yang berkait dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau surah (form) itu terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu adalah qalbu manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna (konsep) yang ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek di sini adalah segala sesuatu yang ada, baik bersifat empiris maupun tidak. Ketika seorang ilmuan mempelajari sistem pernapasan, misalnya, segala daya (al-quwwah) yang dimilikinya – baik zahir maupun batin – secara aktif mengamati alat-alat pernafasan tersebut. Kemudian setelah menganalisis, dia mendapat suatu kesimpulan yang ditangkap dari objek yang sedang dikaji. Kesimpulan itu merupakan surah (form) atau konsep objek yang telah sampai ke dalam jiwa dan tersimpan padanya, yang selajutnya itulah yang disebut dengan al-ma`lum (sesuatu yang diketahui).
Jadi, terdapat tiga istilah dalam sistem pengetahuan mausia, yaitu al-`ilm, al-`alim, dan al-ma`lum. Al-`ilm (ilmu) adalah tergambarnya hakikat sesuatu pada akal, di mana gambaran itu merupakan abstraksi dari sesuatu itu baik kuantitas, kualitas maupun subtansi (jawhar)-nya. Al-`alim (orang yang tahu) adalah orang yang telah berhasil mencerap hakikat sesuatu itu. Sedangkan al-ma`lum adalah objek yang dikaji dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Dalam pandangan al-Qur'an, ilmu itu dapat membentuk sikap atau sifat-sifat manusia. Atau dengan kata lain, sikap atau karakter seseorang merupakan gambaran pengetahun yang dimilikinya. Maka perbedaan sikap dan pola pikir antara seseorang dengan lainnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pengetahuan mereka. Itulah sebabnya pola pikir atau sikap seorang yang ahli dalam bidang sains dan teknologi, misalnya, berbeda dengan orang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Bahkan ilmu pengetahuan tidak hanya membentuk pola pikir, sifat dan karakter seseorang tetapi juga dapat membentuk perilaku. Al-Qur'an menafikan persamaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu . Penafian itu tentu saja tidak hanya mengenai persamaan sifat tetapi juga persamaan perilaku. Maka itulah sebabnya Kitab Suci tersebut memerintahkan umat ini agar banyak belajar meneliti dan mengamati fenomena alam guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan itu dapat membentuk kesadaran dan sikap kemudian dapat pula melahirkan perilaku berdasarkan kesadaran atau sikap yang telah terbentuk itu.
Dengan demikian, belajar pada hakikatnya tidak hanya semata-mata pencarian ilmu. Atau dengan kata lain, penguasaan ilmu bukanlah tujuan utama suatu pembelajaran ; penguasaan ilmu hanya sebagai jembatan atau alat yang dapat mengantarkan manusia kepada kesadaran, keyakinan, dan perasaan atau sikap positif terhadap fenomena alam dan kehidupan sebagai suatau sistem ilahiah. Dan pada akhirnya, hal ini dapat melahirkan perilaku seorang hamba yang menyadari kehadiran Tuhan dalam setiap saat kehidupan yang dilalui.

C. Sumber Ilmu
Pada hakikatnya, ilmu adalah salah satu sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan `Alim (Yang Maha Tahu). Dia adalah sumber utama ilmu. Segala pengetahuan yang diperoleh manusia merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tiada terbatas, manusia hanya memperoleh sedikit sahaja daripadanya . Sedalam apapun pengetahuan manusia mengenai sesuatu, ia tetap saja terbatas karena keterbatasan pikiran dan potensi yang ada dalam jiwanya.
Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan, bahwa Tuhanlah yang mengajar manusia. Di antara ayat tersebut menyatakan: “Tuhan mengajar manusia dengan pena, Dia mengajarkan kepada manusia sesuatu yang belum diketahuinya” , Dia mengajar manusia bertutur , dan Dia mengajar Nabi Muhammad saw sesuatu yang belum diketahuinya . Berdasarkan ayat-ayat ini teranglah, bahwa Allah Maha Guru bagi manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan ilmu dan pengetahuan yang telah diajarkan-Nya. Tetapi, karena keterbatasan manusia itu sendiri, maka pengetahuannya banyak bersifat nisbi dan zanni. Hanya ilmu Tuhanlah yang bersifat mutlak. Maka itulah sebabnya, teori yang ditemukan oleh seorang ilmuan, misalnya, kadang-kadang dibantah atau dibatalkan oleh penemuan lain.
Al-Qur’an mengambarkan, ada dua cara Tuhan mengajar manusia, yaitu pengajaran langsung yang disebut dengan wahyu atau ilham dan pengajaran tidak langsung. Cara yang terakhir ini berarti, bahwa Allah mengajar manusia mealui media yaitu fenomena alam yang Dia ciptakan. Tuhan menciptakan alam dan segala isinya serta hukum yang berlaku padanya. Alam ini, sebagai makhluk Allah, menyimpan berbagai rahasia ilmu pengetahuan. Kemudian manusia mempelajarinya sehingga menemukan sistem hukum alam tersebut yang selanjutnya dapat digunakan bagi kepentingan hidup manusia. Maka pekerjaan seorang ilmuan hanya mencari dan menemukan hukum atau teori, bukan menciptakan hukum atau teori tersebut. Artinya, para ilmuan hanya menemukan teori atau hukum yang telah Allah tentukan berlaku pada alam. Inilah yang dimaksud dengan : “Tuhan mengajar manusia melalui alam dan segala isinya”.
Jadi, alam adalah media yang Allah ciptakan untuk mengajar manusia. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an yang mendorong manusia agar mempelajari fenomena alam. Selain itu, Tuhan juga mengajar manusia melalui wahyu yang telah tersurat. Maka pelajarilah al-Qur’an dan alam niscaya manusia akan mendapatkan ilmu, ketenangan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, Dia mengingatkan manusia agar mempelajari semua itu berangkat atau bermula darti Tuhan (bismi rabbik), supaya ilmu yang diperoleh tidak melahirkan kesombongan dan arogansi.
Jadi, manusia merupakan makhluk pencari ilmu. Ilmu itu dia dapatkan melalui alam, wahyu yang tersurat, dan atau ilham. Semua ilmu yang diperoleh manusia darimanapun dia pelajari adalah ilmu Tuhan atau bersumber dari Tuhan.
Inilah satu di antara perbedaan ilmu dalam perspetif Islam dengan ilmu dalam perspektif Barat sekuler. Bagi kaum sekuler, ilmu itu dibentuk atas dasar fakta empiris atau inderawi tanpa menghiraukan sumbernya, yaitu Allah . Sedangkan dalam perspektif Islam, ilmu itu bersumber dari Allah maka Dia menjadi pusat utama dalam pembelajaran dan penelitian. Semua temuan tidak terlepas dari anugerah-Nya. Dan karena ilmu itu bersumber dari Tuhan, maka empiris-inderawi bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan ilmu. Sebab, Dia Maha Kuasa melakukan komunikasi langsung dengan hamba pilihan-Nya, dalam bentuk wahyu atau ilham dan atau melalui malaikat, untuk menyampaikan pengetahuan.
Maka dengan demikian, mencari ilmu atau pengetahuan berarti mengkaji sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-Nya yang terlukis pada alam. Di alam ini terdapat rahasia ilmu pengetahuan yang mesti disingkap oleh manusia. Penyingkapan rahasia fenomena alam tersebut akan menemukan hukum-hukum ilahiah yang sudah Allah takdirkan berlaku pada alam, dan penemuan itu sendiri merupakan ilmu bagi manusia yang sangat berguna bagi kehidupannya baik secara material maupun spritual. Secara material, penemuan itu dapat meningkatkan kualitas kehidupan atau kesejahteraan fisik. Dan secara spritual, penemuan itu dapat menambah keyakinan serta keimanan terhaap Sang Pencipta alam, sehingga melahirkan perilaku menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai normatif; kejujuran, keadilan, rendah hati, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Menurut al-Qu’an, inilah tujuan utama pendidikan yang mesti dijabarkan dalam pembelajaran di kelas, baik dalam pembelajaran ilmu yang berkaitan langsung dengan kajian normatif maupun tidak, seperti biologi, ekonomi, fisika, dan lain sebagainya. Hal ini tergambar dalam setiap perbincangan al-Qur’an mengenai fenomena alam, yang kemudian dikaitkan dengan kepercayaan terhadap-Nya.
D. Cabang Ilmu
Banyak pakar yang mengkaji tentang ilmu. Ibn Sina, misalnya, mengklasifikasikan ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-`ilm al-ilahi (ilmu ketuhanan atau metafisika), al-`ilm al-riyadi (ilmu matematika), dan al-`ilm tabi`i (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibn Sina menyebut ketiga ilmu itu pula dengan al-`ilm al-a`la (ilmu yang tinggi), al-`lm al-awsat (ilmu pertengahan), dan al-`ilm al-asfal (ilmu yang rendah) . Kelasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi suatu ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Bagi Ibn Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhanan lebih utama dari ilmu lainnya, sebab persoalan ini menyangkut kewajiban manusia sebagai individu dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak berarti, bahwa ilmu alam dan matematika tidak penting. Kelasifikasi itu hanya menunjukkan kepada struktur atau tartib pengajaran; ilmu ketuhanan mesti didahulukan daripada ilmu lainnya, sebab ia menyangkut dengan penanaman akidah dan keyakinan. Kemudian peringkat kedua adalah ilmu matematika, ia didahulukan dari ilmu alam sebab matematika merupakan alat untuk mengkaji ilmu alam. Tetapi, dalam penyusunan kurikulum bisa saja akidah diajarkan seiring dengan ilmu alam dengan menjadikan fenomena alam yang diperhatikan siswa sebagai media penguatan akidah.
Berbeda dari Ibn Sina, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua macam, yaitu ilmu shari`ah dan ilmu ghayr al-shari`ah. Klasifikasi ini serasi dengan pembagian yang dibuat oleh Ibn Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu `aqal. Yang pertama sama dengan ilmu shari`ah dan yang terakhir sama dengan ilmu ghayr al-shari`ah dalam kategori al-Ghazali.
Penulis melihat, bahwa klasifikasi ini, baik al-Ghazali mapun Ibn Khaldun, didasarkan atas sumber ilmu. Ilmu tersebut ada yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan ada pula yang bersumber dari alam dan fenomenanya . Ilmu yang bersumber dari wahyu disebut dengan ilmu naqal atau shari`ah dan ilmu yang merupakan hasil penyelidikan terhadap alam dan segala fenomenanya disebut dengan ilmu `aqal atau ghayr al-shari`ah. Lebih jauh pandangan al-Ghazali mengenai ilmu shari`ah dan ilmu ghayru sl-shari`ah dapat pula diartikan kepada ilmu yang berkaitan dengan segala hal yang bersifat normative (ilmu al-shari`ah) dan ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang tidak bersifat normative atau hokum alam (ilmu ghayru al-shari`ah).
Klasifikasi ilmu di atas bukan dalam arti pengelompokan ilmu yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain atau dikotomi, tetapi dalam arti pembagian berdasarkan karakteristik dan objek kajian suatu ilmu. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka pembelajaran, pewarisan, dan pengembangan ilmu itu sendiri. Berdasarkan pengelompokan tesebut, maka suatu lembaga pendidikan menjadi mudah menentukan urutan-urutan pengajaran sesuai dengan kepentingan masyarakat dan anak didik yang belajar padanya, dan menjadi jelas perbedaan antara ilmu alat, sebagai teori, dan ilmu tujuan sebagai praktik bagi kepentingan hidup manusia.
Walaupun para ilmuan muslim klasik telah mengklasifikasikan cabgan-cabang ilmu tersebut, namun mereka sepakat bahwa yang terpenting adalah semua cabang itu berangkat dari sumber utamanya, yaitu Allah. Maka pembelajaran sebagai pewarisan ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu mesti diformat atas dasar keimanan dan ketakwaan.

E. Jendela Prolehan Ilmu
Banyak ayat al-Qur’an yang mendorong manusia agar mempelajari fenomena alam, seperti unta, angkasa, bumi, gunung , manusia , dan ufuk . Hal ini berarti fenomena alam ini mesti dipelajari agar manusia mendapatkan ilmu mengenainya. Ayat-ayat itu selain mengambarkan sesuatu yang dipelajari, ia juga mendiskripsikan cara-cara mendapatkan ilmu mengenainya. Menurut al-Qur’an, ilmu itu dapat diperoleh melalui tiga hal, yaitu rasional, empiris, dan wahyu atau ilham.
Mendapatkan ilmu melalui rasio, misalnya, dapat dilihat dalam firman Allah ayat 12 – 16 surat al-Mu’minun yang berbicara tentang emberiologi. Secara tekstual, ayat-ayat itu mendiskripsikan proses kejadian dan perjalanan hidup manusia, mulai dari tanah sampai kepada penentuan nasibnya yang abadi; surga atau neraka.
Tujuan utama ayat tersebut bukan semata-mata mengejar manusia tentang emberiologi, manusia tidak banyak dituntut menguasai ilmu tersebut. Tetapi, pembelajaran oleh al-Qur’an mengenai emberiologi dalam ayat tersebut bertujuan untuk meyakinkan manusia bahwa hidupnya pasti akan berakhir dan dia akan mengalami kebangkitan. Proses kejadian manusia atau emberiologi, dalam hal ini, hanya sebagai media untuk menjelaskan hal tersebut. Tergambar dalam ayat-ayat itu metode analogi (qiyas) untuk mendapatkan ilmu dan selanjutnya keyakinan, yaitu dengan memandingkan sesuatu yang lebih sulit dengan yang lebih mudah (qyas awlawi); Allah kuasa mengubah tanah menjadi manusia, maka tentu Dia lebih kuasa lagi mengumpulkan kembali sesuatu yang telah ada walaupun telah rusak. Atau, jika Allah kuasa menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada, maka Dia tentu lebih kuasa lagi mengumpulkan sesuatu yang telah ada. Artinya, disini manusia dituntut melakukan penalaran agar mendapatkan ilmu. Dan ilmu yang diperoleh berdampak terhadap keimanan kepada-Nya.
Metode empiris, misalnya, dapat dilihat dalam berbagai ayat yang mendorong manusia memperhatikan fenomena alam, sepeti berjalanlah kamu di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana akibat yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah . Banyak fenomena alam yang digambarkan dalam al-Qur’an, yang apabila dipelajari manusia maka dia akan mendapatkan ilmu dari padanya. Kitab suci berbicara tentang matahari bagaimana ia beredar pada orbitnya , bintang dan bulan yang terbit kemudian lenyap . Semua fenomena alam ini dapat diperhatikan dan dipantau oleh indera manusia dan dapat pula dipelajari secara empiris, sehingga dapat mengetahui sistem atau hukum yang berlaku pada alam.
Walaupun empiris dan penalaran rasional dua hal yang berbeda, tetapi dalam proses penelitian dan pencarian ilmu, keduanya menjadi suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Enstain – seperti yang dikutip oleh Jujun- mengingatkan, bahwa tidak terdapat metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu. Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris saja adalah pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Ia belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Kumpulan fakta-fakta itu belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistimatis . Selain itu, kelemahan empiris juga terletak pada kualitas dan keterbatasan kemampuan indera, maka itulah sebabnya al-Ghazali meragukan kebenaran indera tersebut. Demikian pula penalaran rasional, ia tanpa bantuan indera belum tentu menghasilkan pengetahuan yang benar. Sebab, penalaran rasional bersifat subjektif, yang hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut. Penalaran rasional hanya menghasilkan pengetahuan mengenai suatu objek tertentu tanpa ada konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak .
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, kajian empiris perlu dianalisis dengan penalaran rasional dan penalaran rasional perlu didasarkan atas pengalaman empiris. Kedua metode ini perlu dikombinasikan. Al-Qur’an juga mengajarkan, bahwa empiris dan penalaran rasional mesti dikombinasikan. Kitab Suci tersebut mengajarkan kepada manusia agar memikirkan fenomena alam yang teramati oleh indera sebagai suatu realitas yang tak terpisahkan dari Sang Penciptanya. Fenomena alam inderawi hendaknya dianalisis secara rasional; dilakukan analogi sehingga menghasilkan suatu temuan berupa teori bahkan dalil. Dan temuan itu dapat menanamkan dalam jiwa peneliti keimanan dan ketundukan kepada Allah, Yang telah menetapkan hukum alam yang ditemukan itu. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Qur’an “Kaum intelektual itu adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah dan mengkaji isi alam ini. Teori atau hukum alam yang mereka temukan dapat menambah kekagumannya kepada Allah, sehingga mereka berucap; “Tuhan tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau dan hindarkanlah kami dari azab neraka .
Analisis di atas menunjukkan, bahwa penjelasan al-Qur’an mengenai fenomena alam mempunyai dua tujuan. Pertama tujuan sampingan atau tujuan pembelajaran mengenai sesuatu yang dikaji. Dan kedua tujuan utama atau tujuan pokok yang akan diperoleh setelah memahami materi pembelajaran. Tujuan yang terakhir ini dapat diperoleh melalui rasional atau analogi antar fenomena-fenomena yang ada, dimana kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan dari analogi tersebut tidak lagi bersifat empiris. Artinya, berangkat dari sesuatu yang empiris menuju rasional dan hasilnya berupa ilmu yang membawa kepada keyakinan dan keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Menurut perspektif al-Qur’an, pengetahuan tidak hanya didapatkan melalui empiris atau pengalaman inderawi serta penalaran rasional semata, tetapi juga bisa didapatkan melalui ilham. Bahkan, menurut al-Ghazali ilham merupakan jalan pengetahuan yang benar; ia dapat mengantarkan manusia kepada `ilm al-yaqin yaitu suatu keadaan yang benar-benar terbuka padanya sesuatu yang diketahui (al-ma`lum) sehingga tidak ada lagi mengandung keraguan . Untuk mendapatkan pengetahuan melalui ilham – yang dalam istilah al-Ghazali disebut dengan al-ta`allum al-rabbani – adalah ditempuh dengan jalan mujahadah dan riyadah, yaitu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Al-Ghazali mengatakan; “Siapa saja yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan memberinya ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang belum diketahuinya”. Untuk mendapatkan ilmu melalui ilham, manusia mesti bersungguh-sungguh menyucikan dirinya dari noda dan dosa serta mendekatkan diri kepada Allah. Banyak ayat al-Qur’an yang mengambarkan perolehan ilmu melalui ilham atau wahyu. Bahkan, al-Qur’an itu sendiri sebagai wahyu Allah merupakan salah satu bentuk pembelajaran Tuhan terhadap manusia, dalam hal ini Nabi Muhammad saw. yang kemudian terus disampaikan kepada umatnya.

G. Orientasi Pendidikan
Yang dimaksud dengan orientasi pendidikan dalam kajian ini adalah kecenderungan ke mana peserta didik itu diarahkan. Suatu lembaga pendidikan mempunyai rancangan mengenai apa yang ia harapkan dari peserta didik setelah mereka melalui bimbingan atau proses pembelajaran pada lembaga tersebut. Demikian pula peserta didik, atau masyarakat, mereka juga mempunyai rancangan mengenai apa yang ingin mereka peroleh melalui proses pendidikan. Kedua keinginan (keinginan lembaga pendidikan dan keinginan masyarakat) mestilah berhubungan. Suatu lembaga pendidikan mesti menyusun sistem yang sesuai dengan apa yang diinginkan komunitas masyarakat, demikian pula masyarakat mesti mencari lembaga pendidikan yang sesuai dengan kecenderungan putra-putrinya.
Masyarakat Muslim tentu menginginkan suatu lembaga pendidikan Islami, tidak hanya proses yang dilalui tetapi juga hasil yang diperoleh setelah melalui proses itu. Maka untuk mencapai hal tersebut, konsep ilmu dalam perspektif al-Qur’an yang telah diuraikan di atas perlu menjadi perhatian dan standar dalam penyelenggaraan pendidikan. Proses dan tujuan pembelajaran semestinya mengacu kepada hal tersebut. Jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang berpikir tetapi tidak merasa, manusia berpikir tetapi tidak berzikir dan manusia angkuh atau sombong yang siap memangsa makhluk sejenisnya yang lebih buas dari binatang.
Paling tidak, ada dua hal yang perlu disusun atau dirancang oleh lembaga pendidikan dalam rangka menghasilkan manusia berpikir dan merasa, berpikir dan berzikir, dan manusia yang rendah hati serta tidak sombong, angkuh atau arogan. Kedua hal itu adalah proses pembelajaran, baik dalam kelas ataupun di luar, dan tujuan pembelajaran yang mengacu kepada tujuan pendidikan. Kedua hal tersebut mesti dirancang berdasarkan pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan, guna menghasilkan out put yang rendah hati, mampu berpikir dan merasa serta komit dalam keadilan dan kjujuran.
Farhan menyebutkan tiga prinsip yang mesti diinplementasikan dalam proses pembelajaran. Ketiga prinsip itu pada akhirnya mesti menjadi kerangka pemahaman para peserta didik mengenai alam, manusia, dan kehidupan; di mana ketiga hal yang terakhir ini merupakan bahan ajar yang disampaikan guru kepada siswa. Prinsip pertama adalah semua ciptaan ini mempunyai tujuan. Alam semesta dan segala isinya – yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan – diciptakan berjalan atau berlaku sesuai kehendak Allah. Manusia diciptakan bertujuan agar dia mengimani Sang Penciptanya, dan kehidupan diciptakan bertujuan untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan.
Kedua adalah prinsip kesatuan baik alam, manusia, maupun kehidupan. Alam sebagai ciptaan Tuhan terdiri dari bagian-bagian. Ia merupakan suatu sistem yang saling berkait antara satu dengan yang lain. Sistem itu merupakan hukum alam telah ditetapkan oleh Allah. Al-Qur’an menyebut ketundukan dan beredar atau berlakunya alam ini atas ketetapan Allah itu dengan sujud. Artinya, alam dan segala isinya sujud kepada-Nya dengan kepatuhannya kepada ketetapan tersebut. Maka dengan kepatuhannya itu pula, sistem dan hukum alam itu bisa berubah jika Tuhan menghendaki demikian.
Prinsip kesatuan itu pada manusia terletak pada kesatuan antara spritual dan material. Manusia diyakini terdiri dari dua unsur; jasmani dan rohani. Maka dalam mengisi kehidupan ini, keduanya mesti dipersatukan; jangan ada kebutuhan satu di antara keduanya yang terabaikan. Manusia perlu beribadah unutk memenuhi kebutuhan rohani, sebagaimana dia juga perlu makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Sehubungan dengan kedua kebutuhan ini, perlu pula penyatuan dunia dan akhirat. Manusia perlu mencari keperluan duniawinya, tetapi dalam pencariannya itu dia perlu dikontrol oleh rasa keperluannya terhadap kehidupan akhirat .
Ketiga adalah prinsip keseimbangan (al-ittizan). Kedua prinsip di atas (penciptaan yang bertujuan dan prinsip kesatuan) mesti dipahami sebagai suatu keseimbangan. Manusia, alam, dan sistem yang berlaku padanya terajut sedemikian rupa, di mana kebaikan dan kerusakan salah satu darinya berpengaruh kepada yang lain. Jika ada di antara bagian-bagian alam ini yang rusak, maka yang lain juga akan rusak. Dengan demikian jelaslah, bahwa kerusakan alam berdampak kepada manusia serta kehidupannya, dan kemiskinan yang disebabkan oleh kezaliman dan ketidakjujuran berdampak pula kepada yang lain, baik yang terlibat dalam menzalimi ataupun tidak. Al-Qur’an menegaskan :
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, bahwa Allah sangat keras siksaannya .
Maka dampak penindasan tidak hanya akan dirasakan oleh orang yang ditindas, tetapi juga akan menimpa orang yang menindas dan orang lainnya. Demikian pula penipuan, kerugian yang ditimbulkan olehnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang ditipu, tetapi juga akan dirasakan oleh para penipu. Paling tidak kerugian yang akan dialami oleh para penipu dan penindas adalah hilangnya kepercayaan orang terhadapnya. Karena kezaliman dapat merusak kesimbangan tersebut, maka prinsip ini mesti tertanam dalam jiwa peserta didik sehingga diharapkan mereka anti terhadap kezaliman dan penipuan. Dengan demikian, seyogyanya tidak ada prinsip dan unsur yang diabaikan, perlu keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dengan perbaikan terhadapnya, perlu keseimbangan antara jasmani dan rohani, serta keseimbangan antara pembangunan duniawi dan pembangunan kehidupan ukhrawi.
Ketiga prinsip di atas perlu terdapat dan dijabarkan dalam proses pembelajaran serta evaluasi. Sepantasnya kurikulum dan silabus disusun berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Ia perlu mengambarkan kepada siswa, bahwa segala yang ada ini diciptakan mempunyai tujuan, terbentuk dalam suatu kesatuan yang tiada terpisahkan serta keseimbagan. Berdasarkan prinsip ini, maka para peserta didik diharapkan benar-benar menyadari, bahwa dirinya bagian dari penciptaan yang bertujuan yang berada dalam suatu sistem kesatuan dan keseimbangan itu. Selanjutnya, penanaman prinsip yang semacam ini diharapkan dapat menghasilkan out put yang menghargai lingkungan dan menghormati sesama, sebab merusak lingkungan atau menganggu orang lain sama dengan merusak dirinya sendiri. Abduh mengatakan; “ Apabila orang sudah terdidik, maka dia akan menyintai dirinya demi kecintaannya kepada orang lain dan dia akan mencintai orang lain demi kecintaannya terhadap dirinya sendiri

1 komentar: