Selasa, 11 September 2012

PENGARUH BAHASA TERHADAP PERBEDAAN PARA IMAM MUJTAHID DALAM MENAFSIRKAN AYAT-AYAT HUKUM Kadar M. Yusuf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Jl. Subrantas Km. 15,5 Panam, Pekanbaru e-mail: lailatul_qdr@yahoo.com Abstract: The Language influence toward Difference Diligents in Interpretation Qur’anic Verses of Law. Muslim scholars disagreed on many aspects of Islamic law, which lead to varieties and differences in the way they implement it both in their worship and social life. It is due to many aspects, and one of them is the way they interpret Qur’anic verses based on their knowledge of the Arabic language usage. This article discuss about the way Muslim scholars interpret the language used in the Qur’an. This study found that there six language aspects in which Muslim scholars have different use to interpret Qur’anic verses. They are 1) determining of hurûf jâr (preposition) and hurûf `athaf (conjuntion), 2) deciding the meaning of fi’il (verb) and ism (noun), 3) deciding the object to which isim isyârah refers to, 4) deciding the object to which a pronoun refers to 5) deciding quantity and quality on the meaning of a word and sentence, and 6) identifying ma’na haqîqy (true or real meaning) of a word and sentence and its ma`na majâzy (analogy). Based on the differences, Muslim scholars have different understanding and interpretation of Islamic law while they all refer to the same verse. The differences lead to the implmentation of Islamic laws in the way they worship as well as in the way they conduct social life. Kata Kunci : ism, fi`il, `athaf, jârr, isim isyârah Abstrak: Pengaruh Bahasa terhadap Perbedaan Para Imam Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat-ayat Hukum. Banyak persoalan hukum yang tidak disepakati oleh para ulama. Ketidaksepakatan itu dilatarbelakangi oleh berbagai hal, salah satu di antaranya adalah persoalan kebahasaan. Artikel ini membahas perbedaan para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum yang dilatarbelakangi oleh persoalan kebahasaan tersebut. Ada enam aspek kebahasaan yang memicu munculnya perbedaan tersebut, yaitu 1) pemaknaan hurûf jâr dan hurûf `athaf, 2) penentuan makna fi'il (kata kerja) dan ism (kata benda), 3) menentukan objek yang ditunjuki ism isyârah, 4 ) menentukan tempat pengembalian ism dhamīr, 5) menentukan kuantitas dan kualitas makna suatu lafal, dan 6) penentuan makna haqîqy atau majâzy suatu lafal. Berdasarkan perbedaan kebahasaan ini, para imam mujtahid memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ayat-ayat hukum Islam. Perbedaan inilah yang melahirkan keragaman umat Islam dalam beribadah dan bermu`amalah. Kata Kunci: ism, fi `il, 'athaf, jârr, isim isyârah Pendahuluan Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam penyampaian risalah kepada umat manusia, Allah menggunakan bahasa bangsa atau masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, walaupun pesan-pesan Tuhan itu tidak dikhususkan buat bangsa itu saja. Al-Qur’an menegaskan : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka . Maka Taurat diturunkan Allah kepada Nabi Musa menggunakan bahasa Ibrani sebagai bahasa kaumnya dan menurunkan Injil kepada Nabi Isa dengan bahasa Suryani sebagai bahasa kaumnya pula. Al-Qur’an sebagai Kitab terakhir diturunkan dalam bahasa Arab, karena memang sasaran awal dakwahnya bangsa Arab. Mereka dalam kesehariannya berinteraksi sesama mereka menggunakan bahasa Arab. Al-Qur’an mengambarkan hal itu: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” . Orang Arab sangat bangga dengan bahasa yang mereka gunakan. Mereka menyukai puisi dan prosa serta amtsâl. Uslub atau gaya bahasa Al-Qur’an sangat indah dan amat menarik jiwa. Ia mengalahkan bahasa yang digunakan oleh orang-orang Arab. Betapapun indahnya gaya bahasa atau puisi dan prosa yang digubah oleh seorang sastrawan Arab, namun ketika dihadapkan dengan Al-Qur’an maka terasa karya sastra atau gaya bahasa sastra yang digubah itu tidak memiliki keindahan; ia terkalahkan oleh Al-Qur’an. Disebabkan oleh keindahan bahasanya yang tidak tertandingi oleh manusia itulah, maka para ulama memandang bahwa aspek kebahasaan merupakan satu di antara sisi kemu`jizatan Al-Qur’an. Abd al-Wahhab al-Khallaf mengemukakan empat aspek kemu`jizatan Al-Qur’an, dua di antaranya berkaitan dengan bahasa, yaitu pertama keteraturan ungkapan serta makna dan kedua kefasehan lafaz serta keindahan ungkapan, yang besar pengaruhnya terhadap para pembaca dan para pendengarnya. Abu Jahal bin Hisyam, Abu Supyan bin Harb, dan al-Akhnas bin Syariq pernah saling berpesan agar tidak mendengarkan Al-Qur’an. Mereka juga mengingatkan orang-orang lainnya agar tidak cenderung kepada Kitab Suci tersebut. Tetapi, karena begitu kuatnya pengaruh Al-Qur’an, mereka diam-diam mendengarkan bacaan Nabi Muhammad . Dalam suatu riwayat dijelaskan, bahwa suatu ketika Nabi berdiri melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an. Al-Walid bin al-Mughirah berada di dekatnya mendengarkan bacaan Rasul tersebut, setelah memahami bacaan Nabi dia mengulang bacaan tersebut seraya berkata; “seolah-olah dia begitu mengasihinya”. Kemudian al-Walid pergi kepada kaumnya Bani Makhzum, dan berkata: “Demi Allah saya barusan ini telah mendengarkan dari Muhammad suatu ungkapan yang saya kira ungkapan itu bukanlah perkataan manusia dan jin. Sesungguhnya ungkapan itu benar-benar manis dan indah; di atasnya berbuah, di bawahnya melimpah, ia amat tinggi tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan ia benar-benar menghancurkan sesuatu yang di bawahnya . Ungkapan ini jelas mengambarkan kekaguman al-Walid terhadap bahasa Al-Qur’an. Tetapi kekagumannya terhadap Kitab Suci tersebut tidak membuat jiwanya mengakui kerasulan Nabi Muhammad dan mengimani Al-Qur’an. Dia pada akhirnya mengatakan : “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari Muhammad dari orang-orang dahulu” . Jadi bahasa Arab Al-Qur’an penuh dengan keindahan yang membuat banyak orang tertarik dan terpesona olehnya, baik orang yang mengakuinya sebagai Kitab Suci yang datang dari Allah ataupun orang mengingkarinya. Bagaimanapun juga, bahasa mempunyai andil yang sangat besar terhadap pemahaman seseorang terhadap teks yang dia baca atau ungkapan yang dia dengar. Pemahaman pendengar terhadap ungkapan yang didengarnya atau pemahaman pembaca terhadap teks yang dia baca belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara atau penulis teks tersebut. Hal itu disebabkan oleh pemahaman terhadap teks yang dibaca, baik kemampuan ataupun cara menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam teks. Maka itulah sebabnya, kebanyakan hasil penafsiran terhadap nas syra’i tetap menjadi nisbi; kebenarannya tidak sampai kepada tingkat mutlak (zhanni al-dalâlah), kecuali ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna yang pasti (qath`i al-dalâlah), dimana tidak ada kemungkinan makna lain selain makna yang pasti itu. Bahasa Arab mempunyai karakter yang memiliki banyak perbedaan dengan bahasa lainnya. Hal itu antara lain dapat dilihat dalam lafaz yang digunakan, dimana ia mempunyai makna ganda (musytarak). Demikian pula huruf, seperti huruf jar, ia tidak hanya memiliki satu makna tetapi mempunyai berbagai makna. Bahkan di antara huruf-huruf itu terdapat huruf yang mempunyai dua puluh makna. Maka memahami al-nushûsh al-Qur`ûniyah, huruf jar itu tentu saja menjadi suatu persoalan krusial, yaitu bagaimana menetapkan atau menentukan satu di antara begitu banyaknya makna tersebut. Penentuan makna ini perlu berijtihad, mujtahid perlu menganalisis sehingga dia dapat melihat makna yang lebih pantas digunakan dalam ayat yang sedang dia tafsirkan. Tetapi walaupun seorang mujtahid telah menganalisis dengan segala kemampuan yang dimilikinya, tetap saja makna yang digunakannya itu sebagai satu altenatif dimana masih banyak alternatif lain yang keabsahannya sama dengan makna yang gunakan. Para imam Mujtahid sebagai penafsir ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum menghadapi persoalan-persoalan kebahasan seperti yang telah disebutkan di atas. Perbedaan-perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam dilatarbelakangi juga oleh persoalan-persoalan kebahasaan. Untuk mengkajinya lebih dalam, artikel ini memperbincangkan persoalan tersebut. Tulisan ini mengkaji lebih dalam aspek-aspek kebahasaan yang mempengaruhi perbedaan para mujtahid. Problematika Bahasa Arab sebagai Alat Memahami Al-Qur’an Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran . Kata “bersifat sewenang-wenang” dalam definisi ini menunjukkan, bahwa bahasa itu sembrono; ia tidak mempunyai aturan dalam menetapkan lambang suatu makna yang ditunjukkannya. Lambang itu hanya ditetapkan begitu saja tanpa aturan, bahkan tanpa ada kesepakatan sebelumnya antar para pengguna lambang tersebut. Para pengguna lambang mengikuti saja lafaz atau lambang suatu makna yang digunakan oleh orang sebelumnya. Karena tidak punya aturan dalam penentuan lafaz atau lambang suatu makna, maka kadang-kadang terjadi penggunaan suatu lambang bunyi yang menunjukkan banyak makna. Demikian pula sebaliknya, karena tidak punya aturan dalam penentuan lafal atau lambang suatu makna maka kadang-kadang terjadi penggunaan banyak lambang bunyi yang menunjukkan satu makna. Perbincangan di atas berlaku dalam berbagai bahasa terutama bahasa Arab. Maka pemahaman pembaca atau pendengar terhadap teks yang dibaca atau ungkapan yang didengarnya belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh penulis teks atau pembicara. Sebab, mungkin saja penulis atau pembicara itu menggunakan suatu lambang bunyi yang mempunyai banyak makna, dimana lambang bunyi tersebut dia maksudkan dengan arti tertentu, sedangkan pembaca teks atau pendengar memaknai lambang itu dengan makna yang lain lagi. Dengan demikian, perbedaan maksud antara penulis teks atau pembicara dengan pembaca atau pendengar merupakan suatu hal yang wajar terjadi. Demikian pula perbedaan antar para pendengar dan pembaca; mungkin saja ada di antara pembaca suatu teks atau pendengar suatu ungkapan menangkap makna tertentu sementara pembaca atau pendengar lainnya menangkap makna yang lain lagi. Dengan demikian, perbedaan pemahaman antara para pembaca teks yang sama atau para pendengar ungkapan yang sama merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bahasa memang menuntut atau menggiring manusia kepada perbedaan-perbedaan itu. Berangkat dari analisis di atas, maka dapat ditekankan bahwa perbedaan para imam mujtahid dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum merupakan suatu keniscayaan. Kondisi bahasa Al-Qur’an itu sendiri mempunyai konsekuensi kepada perbedaan tersebut. Sebab tidak semua ayat Al-Qur’an itu mempunyai makna yang jelas (al-muhkamât), yang mengambarkan kepastian makna (qath`i al-dalâlah) dimana ia menggiring kepada keseragaman dalam memahaminya. Justru sebaliknya, banyak terdapat dalam al-Qur’an ayat yang menggunakan lafaz yang tidak mempunyai makna pasti atau samar-samar (al-mutasyâbihât). Kesamar-samaran makna itu tentu tidak dapat mencapai tarap kepastian makna. Status pemaknaannya tetap berada pada ketidak pastian (zhanni al-dalâlah), dimana hal ini berdampak kepada perbedaan atau ketidaksepakatan dalam pemaknaan terhadap suatu teks. Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an mempunyai kondisi seperti yang telah disebutkan di atas. Ia mempunyai beragam lafaz yang menunjukkan satu makna atau beragam makna yang dimiliki oleh suatu lafaz, baik makna kata kerja (fi`il), kata benda (isim), ataupun kata sambung (hurûf). Keberagaman makna ini tentu saja mempunyai dampak terhadap pemaknaan teks ayat. Lebih jauh lagi, yang menjadi persoalan dalam teks Arab (al-nushûsh al-`arabiyah) adalah penentuan maksud kata ganti (isim dhamîr), kemana ia dikembalikan. Berbeda dalam menentukan maksud yang ditunjuki oleh isim dhamir jelas mempengaruhi makna. Demikian pula isim isyârah, untuk memahami teks seorang pembaca mesti dapat menentukan kata yang ditunjuki (musyârah ilayh) oleh isim tersebut. Berbeda dalam menentukan musyârah ilayh berdampak pula kepada perbedaan pemahaman. Perspektif Kebahasaan dan Implikasinya terhadap Perbedaan Pendapat Para Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat Hukum. Paparan di atas menunjukkan banyak aspek kebahasaan yang tidak disepakati oleh para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Persoalan kebahasaan yang tidak mereka sepakati itu meliputi pemaknaan terhadap suatu kata, penentuan musyârah ilayh dari suatu isim isyârah, penentuan tempat kembali dhamîr, dan penentuan kait (muqayyad). Hal itu dapat dilihat dalam perbincangan berikut : 1. Perbedaan Para Ulama dalam Pemaknaan Kata Kata dalam Bahasa Arab meliputi isim (kata benda), fi`il (kata kerja), dan hurûf (kata sambung). Ketiga jenis kata (kalimah) itu, walaupun dalam lafal yang sama, tidak selalu mempunyai makna yang sama pula. Ia kadang-kadang mempunyai makna ganda. Maka untuk menentukan satu di antara makna yang ada, seorang mujtahid perlu berijtihad, dimana hasil ijtihadnya bisa saja berbeda dengan mujtahid lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam paparan berikut. a. Pemaknaan Huruf Jar dan `Athaf. Terdapat banyak huruf jarr yang digunakan dalam ayat-ayat hukum, yang dapat mempengaruhi makna ayat tersebut terutama jika ia mempunyai lebih dari satu makna. Hal itu dapat dilihat dalam ayat 6 surat 5 (al-Mâ’idah), yaitu:                                                 Ada beberapa huruf jarr yang tidak disepakati maknanya oleh para imam mujtahid yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ilâ pada penggalan ayat ilâ al-marâfiq dan ila al-ka`bayn. Selain itu terdapat pula ba yang terdapat dalam ayat wamsahû biru’ûsikum. Dalam kaedah bahasa Arab, ilâ memiliki tiga makna yaitu al-intihâ’, al-mushâhabah atau semakna dengan ma`a, dan semakna dengan `inda . Jika ilâ dalam ayat ini bermakna intihâ’ maka siku tidak termasuk bagian yang dibasuh, tetapi jika ia bermakna al-mushâhabah maka siku termasuk bagian yang mesti dibasuh. Demikian pula ilâ pada penggalan ayat ila al-ka`bayn (hingga dua mata kaki), jika ia diartikan kepada al-mushâhabah maka mata kaki merupakan bagian dari kaki yang mesti dibasuh, tetapi jika ia diartikan kepada intihâ’ maka mata kaki tidak termasuk bagian yang mesti dibasuh ketika membasuh kaki. Jumhur ulama, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan al-Syafi`i berpandangan bahwa ilâ dalam ayat tersebut berarti al-mushâhabah atau semakna dengan ma`a. Sebagian Ahli Zhahir dan sebagian pengikut mazhab Malik serta al-Thabari berpandangan pula bahwa ilâ dalam ayat tersebut bermakna al-ghâyah atau al-intihâ’ . Selain ilâ terdapat pula dalam ayat di atas huruf ba yang juga mempunyai makna ganda, seperti yang terdapat dalam penggalan ayat وامسحوا برؤسكم. Dalam kaedah Bahasa Arab, ba huruf jar itu mempunyai banyak makna. Mustafa Ghulayaini menjelaskan, bahwa ba mempunyai tiga belas makna. Di antara makna itu yang dapat digunakan dalam ayat di atas adalah al-ta’kîd yaitu ziyâdah (tambahan) dan tab`îdh (sebagian) . Para ulama tidak sepakat dalam memaknai huruf ba yang terdapat dalam penggalan ayat ini. Di antara mereka mengartikannya kepada al-ta’kîd atau sebagai ziyâdah (tambahan), sehingga makna huruf itu tidak berpengaruh kepada makna kalimat karena ia hanya sebagai tambahan saja. Maka berdasarkan arti tersebut, kalimat وامسحوا برؤسكم sama maknanya dengan وامسحوا رؤسكم (tanpa ba). Imam mujtahid yang memaknai ba dengan makna ini adalah Imam Malik. Sedangkan Abu Hanifah dan al-Syafi`i mengartikannya kepada tab`îdh sehingga, menurut mereka, penggalan ayat وامسحوا برؤسكم sama artinya dengan وامسحوا بعض رؤسكم (sapulah sebagian kepalamu). Selain huruf jar, dalam ayat itu terdapat pula huruf `athaf yang juga dapat menimbulkan pemahaman ganda sesuai dengan gandanya makna huruf tersebut. Huruf `athaf yang dimaksud adalah waw pada penggalan ayat wa aydiyakum dan wa arjulakum. Para ahli nahu berbeda pendapat dalam memaknai waw huruf `athaf ini. Para tokoh Nahu Basrah berpendapat, bahwa waw hanya mempunyai makna muthlaq jama`, ia tidak mempunyai faedah tartîb dan ta`qîb. Pendapat ini dipegangi pula oleh Musthafa Ghulayaini dalam karyanya Jâmi` al-Durûs al-Lughah al-`Arabiyah. Dia mengatakan : الواو تكون للجمع بين المعطوف والمعطوف عليه في الحكم والاعراب جمعا مطلقا, فلاتفيد ترتيبا ولاتعقيبا. فاذا قلت : جاء علي وخالد, فالمعنى أنهما اشتركا في حكم المجئ, سواء أكان علي قد جاء قبل خالد أم بالعكس, أم جاء معا. Sebaliknya para tokoh Nahu Kufah berpendapat, bahwa waw `athaf selain jam`u ia juga bermakna tartib. Pendapat Abu Hanifah dan Malik sama dengan tokoh Nahu Basra, sehingga menurut mereka waw `athaf dalam ayat di atas hanya bermakna jam`u saja tidak ada tertib dan ta`qîb. Sedang al-Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal sependapat dengan aliran Nahu Kufah, yaitu bahwa waw `athaf tidak hanya bermakna jam`u saja tetapi juga tartîb dan ta`qîb. b. Pemaknaan terhadap Kata Benda (isim) dan Kata Kerja (fi`il) Pemaknaan suatu kata dalam menafsirkan ayat-ayat hukum juga persoalan yang selalu tidak disepakati oleh para ulama, dimana perbedaan itu mempunyai konsekuensi munculnya perbedaan pendapat dalam Fiqih Islam. Dalam ayat 6 surat al-Mâ’idah di atas terdapat beberapa kata yang tidak mereka sepakati maknanya, yaitu antara lain lâmasa dan sha`îdan thayyiban. 1. Kata lâmasa terdapat dalam penggalan ayat لامستم النساء. Kata ini semakna dengan massa. Ia juga mempunyai makna ganda, yaitu menyintuh dengan tangan sebagai makna dasar dan mempergauli atau mencampuri sebagai makna majazi. Seperti yang tergambar dalam ayat, bahwa tidak ada kepastian salah satu di antara kedua makna tersebut. Maka para ulama bebas berkeriasi atau berijtihad dalam menentukan makna yang dimaksud dalam ayat di atas. Abu Hanifah mengartikan kata lamasa itu kepada jimak atau menyampuri, sesuai dengan makna majazinya. Sedangkan Imam Malik dan al-Syafi`i mengartikannya pula kepada makna dasar lamasa itu sendiri, yaitu bersentuhan kulit. Perbedaan ini melahirkan perbedaan pendapat mereka mengenai bersentuhan laki-laki dan wanita, yang membuat batalnya wuduk. Menurut Hanafi, maksud sentuhan dalam ayat itu ialah jimak. Sedangkan Imam Malik dan al-Syafi’i berpendapat pula, bahwa sentuhan yang membuat batalnya wuduk itu adalah bersentuhan kulit. 2. Sha`îda, secara etimologi kata sha`îda berasal dari kata sha`ada. Makna dasarnya adalah “terangkat”. Al-sha`îd bermakna bumi yang terangkat atau agak tinggi. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna terminologi kata sha`îd dalam ayat ini. Menurut al-Syafi`i, kata itu bermakna “tanah yang mengandung debu”. Menurut Abu Ishaq, sha`îd berarti wajhu al-ardh (permukaan bumi) . Perbedaan-perbedaan ini jelas menimbulkan ikhtilâf dalam menetapkan benda yang boleh dijadikan untuk bertayamum. Perbincangan di atas mengambarkan perbedaan para ulama dalam memaknai kata yang terdapat dalam ayat-ayat mengenai ibadah. Perbedaan seperti ini juga terdapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum tentang mu`amalah. Hal itu misalnya pemaknaan terhadap kata qurû’, nakaha, tathahharna, dan i`tazilû. Pertama kata qurû’. Kata tersebut terdapat dalam ayat 228 surat 2 (al-Baqarah), yaitu :      Kata qurû’ merupakan jamak dari qar’, ia mempunyai dua makna, yaitu al-haydhu (haid) dan al-thahru (suci). Kedua makna ini digunakan dalam bahasa Arab. Pemaknaan kata qar’u kepada suci dan haid merupakan pengembangan dari makna dasarnya, yaitu al-waqt . Abdul Wahab Abdus Salam secara umum mengartikan qar’u itu kepada “waktu dimana pada saat itu sudah biasa terjadi suatu kejadian tertentu” . Masa haid dan suci disebut dengan al-qar’u karena ia merupakan masa khusus dan biasa terjadi pada setiap wanita pada waktu-waktu tertentu. Kemudian istilah qar’u ini secara umum diartikan kepada haid dan suci tersebut. Para mujtahid tidak sepakat dalam memaknai kata qar’u dalam ayat di atas. Abu Hanifah mengartikannya kepada haid, dan Imam al-Syafi`i mengartikannya pula kepada suci. Pendapat al-Syafi`i ini didukung oleh kata tsalâtsata qurû’ dalam ayat itu, yang menggunakan `adad (kata bilangan) dalam bentuk mu’annats. Dalam kaedah bahasa Arab, apabila `adad-nya mu’annats maka ma’dud-nya mestilah mudzakkar yaitu al-athahru (suci). Bukan al-haydhah karena ia mu’annats, jika yang dimaksud dengan qurû’ dalam ayat itu haid maka lafalnya tsalâtsa qurû’ bukan tsalâtsata qurû’ . Kedua kata nikâh. Kata nikâh yang tidak disepakati maknanya, antara lain dapat dilihat dalam ayat 22 surat al-Nisâ’ yaitu :             Secara umum ayat ini bermakna, bahwa seseorang dilarang menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayahnya, kecuali pernikahan yang sudah terlanjur sebelum turun larangan ini. Perbuatan menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayah itu adalah perbuatan yang keji. Persoalan yang muncul dalam penafsiran ayat di atas adalah makna kata nakaha. Kata nakaha merupakan lafaz musytarak. Ia mempunyai makna ganda, yaitu makna lughawi dan makna istilah. Nikah secara bahasa bermakna jimak atau hubungan seksual, dan secara istilah nikâh bermakna akad ijab qabul yang dilakukan oleh wali nikah dan calon suami. Kata nakaha dalam ayat di atas terulang dua kali, yaitu tankihû dan nakaha. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam memaknai kata tankihû, yaitu akad nikah. Mereka berbeda dalam memaknai kata nakaha, yang terdapat pada kalimat mâ nakaha. Jika kata nikah dalam ayat ini diartikakan menurut makna etimologinya, maka ayat itu bermakna bahwa seorang anak tidak boleh menikahi wanita yang telah pernah dipergauli oleh ayahnya, walaupun pergaulan itu tidak halal. Tetapi jika kata tersebut diartikan kepada akad, maka yang dilarang hanya menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayah. Maka berdasarkan makna ini, seseorang boleh menikahi wanita yang pernah dicampuri oleh ayahnya tanpa akad nikah. Abu Hanifah, al-Tsawri, al-Awza`i, dan Qatadah mengartikan kata nikâh dalam ayat ini kepada maknanya secara bahasa, yaitu jimâ`. Sedangkan al-Syafi`i, al-Laytsi, al-Zuhri, dan mazhab Malik mengartikannya kepada akad . Ketiga kata tathahharna, yang terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 222, yaitu :                          •       Kata tathahhara dalam ayat ini merupkan fi`il mâdhi jama` mu’annats, yang berasal dari kata thahura. Kata tersebut telah mendapatkan tambahan “ta” dan satu huruf yang sejenis dengan `in fi`ilnya. Secara harfiah thahura bermakna suci, dan tathahharna bermakna mereka telah suci. Tetapi, tidak ada kepastian mengenai maksud suci (tathahhara) dalam ayat tersebut; apakah dalam makna putusnya darah haid (inqithâ` dam al-haydh) kemudian membasuh al-mahîdh (tempat keluar haid), atau dalam arti inqithâ` dam al-haydh dan mandi?. Hal ini tidak disepakati oleh para ulama. Imam Abu Hanifah mengartikan kedua kata itu kepada inqithâ` dam al-haydh (berhentinya darah haid). Maka kata yathhurna dalam ayat ولا تقربوهن حتى يطهرن menurutya semakna dengan tathahharna dalam ayat فاذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله . Dengan demikian ayat itu berarti “janganlah kamu dekati mereka sehingga darah haidnya berhenti keluar, dan apabila darah mereka itu telah berhenti maka datangilah mereka”. Sedangkan Jumhur ulama berpandangan pula, bahwa kata yathurna mempunyai makna yang berbeda dari kata tathahharna. Kata yathhurna bermakna inqithaâ’ dam al-haydh, sedangankan tathahharna berarti ightasalna (mandi). Maka oleh sebab itu, menurut mereka ayat itu bermakna “janganlah kamu dekati mereka sehingga darah haidnya berhenti keluar, dan apabila mereka telah mandi (setelah darah mereka itu berhenti keluar) maka datangilah mereka”. c. Penentuan Musyârah Ilayh dari Suatu Isim Isyârah Perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat hukum juga dilatarbelakangi oleh berbedanya mereka dalam menentukan musyârah ilayh (kata yang ditunjuki oleh) suatu isim isyarah. Perbedaan menentukan musyârah ilayh tersebut mempunyai kosekuensi terhadap perbedaan makna. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dalam penafsiran ayat berikut: 1. Penafsiran ayat tentang pelaksanaan haji tamattu`, yaitu :                                      Dalam ayat di atas terdapat ungkapan ذالك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام (hal itu bagi orang-orang, dimana keluarganya bukan penduduk Masjidil Haram/Kota Mekkah). Persoalan yang tidak dipakati oleh para mufassir adalah ungkapan atau lafal mana yang ditunjuki oleh kata dzâlika (itu) dalam ayat tersebut? Sebelumnya diperbincangkan tentang haji tamattu`, yaitu melaksanakan umrah sebelum haji di bulan haji. Seorang muslim boleh mengerjakan haji tamattu` dengan syarat membayar dam salah satu di antara dua hal, yaitu mengurbankan seekor binatang ternak atau berpuasa sepuluh hari; tiga dilaksanakan semasa melaksanakan ihram haji dan tujuh hari lainnya apabila telah pulang ketempat tinggal. Kemudian penggalan ayat berikutnya menyatakan “ذالك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام (hal itu bagi orang-orang, dimana keluarganya bukan penduduk Masjidil Haram/Kota Mekkah). Apakah yang dimaksud dengan “hal itu” dalam ayat ini? Ada dua kemungkinan lafal yang ditunjuki oleh dzâlika tersebut, yaitu kebolehan melaksanakan haji tamattu` dan kewajiban membayar dam jika melaksanakan haji tamattu`. Abu Hanifah berpendangan, bahwa musyârah ilayh kata dzâlika dalam ayat ini adalah haji tamattu`. Sedangkan Imam Malik, al-Syafi`i, dan Ahmad berpendapat pula bahwa lafal yang tunjuki oleh dzâlika adalah kewajiban membayar dam . Berdasarkan penentuan musyârah ilaih itu, Imam Hanafi berpandangan bahwa haji tamattu` hanya boleh dilakukan oleh orang yang bukan penduduk Kota Mekkah. Sedangkan jumhur ulama, berdasarkan penentuan mereka terhadap musyârah ilaih dalam ayat tersebut, berpendapat pula bahwa dam haji tamattu` hanya diwajibkan kepada orang-orang yang bukan penduduk Kota Mekkah. Dan penduduk Kota Mekkah yang mengerjakan haji tamattu` tidak dikenakan dam. 2, penafsiran ayat tentang hukum mengawini pezina, yang terdapat dalam surat al-Nûr ayat 3, yaitu : •       •             Para ulama tidak sepakat dalam menafsirkan ayat ini, khususnya hukum menikah dengan pezina. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh ketidaksepakatan mereka dalam memaknai penggalan ayat wahurrima dzâlika `ala al-mu’minîn, khususnya menentukan lafal yang ditunjuk oleh dzâlika. Ada mufassir yang berpendapat, bahwa kalimat yang diisyaratkan oleh dzâlika itu adalah nikâh al-zâni (menikahi pezina) dan nikâh al-musyrik (menikahi orang musyrik), yang terkandung dalam penggalan ayat sebelumnya. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata dzâlika dalam ayat itu diisyaratkan kepada al-zina bukan kepada al-nikâh. Oleh karena itu menurut mereka, boleh bagi orang baik-baik (`afîf atau `afîfah) menikah dengan pezina . Pendapat ini, dikalangan sahabat, dinukilkan dari Abu Bakar, Umar, dan Ibn Abbas yang kemudian dianut oleh jumhur ulama seperti Hanafi dan al-Syafi`i. Selain jumhur, terdapat pula ulama yang berpandangan, bahwa kata dzâlika diisyaratkan kepada al-nikâh. Oleh karena itu, mereka berpandangan tidak boleh menikah dengan pezina. Dari kalangan sahabat, hal ini diriwayatkan dari Ali, al-Barra’, dan `A’isyah . d. Penentuan Tempat Kembali Dhamîr Perbedaan pendapat para mujtahid dalam menafsirkan ayat-ayat hukum juga dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam menentukan tempat kembali isim dhamîr yang terdapat dalam ayat hukum tersebut. Hal itu seperti yang terlihat pada komentar dan penjelasan mereka terhadap ayat-ayat mengenai tayamum di atas, yaitu penggalan ayat 6 surat 5 (al-Mâ’idah):                           Artinya: Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah yang suci. Dalam ayat di atas terdapat isim dhamîr yaitu أنتم (kamu), yang merupakan kata ganti orang kedua jamak (jama` mukhâtab). Sebelumnya terdapat pula beberapa kata ganti orang kedua jamak, dimana perbincangan diarahkan kepada orang-orang (kamu) yang telah junub, orang-orang sakit, orang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah buang air besar, dan orang yang telah bersentuhan dengan wanita. Secara garis besar perbincangan ayat ini dapat dikategorikan kepada dua macam, yaitu orang-orang (kamu) yang telah berhadas besar (junub) dan orang (kamu) yang telah berhadas kecil, yang meliputi buang air besar dan bersentuhan dengan wanita. Dalam penggalan ayat فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا juga terdapat kata ganti orang kedua jamak, yang menjelaskan kebolehan bertayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air. Persoalan yang menjadi perdebatan disini adalah maksud antum yang terdapat dalam penggalan ayat ini; apakah semua orang yang diperbincangkan dalam ayat sebelumnya atau sebagiannya, yaitu orang-orang yang berhadas kecil saja?. Para mujtahid tidak sepakat dalam menentukan siapa yang dimaksud dengan antum (kamu) dalam penggalan ayat tersebut. Umar dan Ibn Mas`ud berpandangan, bahwa dhamîr antum yang terdapat dalam penggalan ayat ini kembali kepada orang-orang yang berhadas kecil saja, dalam ayat itu disebutkan orang yang sudah buang air dan bersentuhan dengan wanita. Sedangkan Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya berpendapat pula, bahwa dhamîr itu tidak hanya kembali kepada orang yang berhadas kecil saja tetapi juga kembali kepada orang yang telah berhadas besar (junub). e. Cakupan dan Kualitas Makna Suatu Lafaz 1. Takhshish al-`Am Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat `âmm, dimana ia dipahami dan diamalkan berdasarkan keumumannya itu tanpa takhshish. Sebaliknya, terdapat pula ayat-ayat `âmm yang tidak dipahami dan diamalkan berdasarkan keumumannya itu, tetapi ia ditakhshishkan oleh ayat lain atau sunnah Nabi. Para ulama kadang-kadang tidak sepakat dalam menentukan keberlakuan umunya suatu ayat. Suatu ayat ` âmm, yang dipahami dan ditafsirkan berdasarkan keumumannya itu oleh seorang mujtahid belum tentu juga dipahami dan ditafsirkan sedemikian rupa oleh mujtahid lainnya. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran ayat-ayat berikut: a. Penafsiran terhadap kata al-‘ahillah dalam ayat 189 surat al-Baqarah (2):         ••   Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. Secara umum ayat ini menjelaskan, bahwa bulan sabit itu adalah waktu pelaksanaan ibadah haji. Dan bulan sabit itu ada di setiap bulan. Maka berdasarkan ini menurut mereka, ihram haji itu boleh dilaksanakan kapan saja baik dalam bulan haji ataupun tidak. Kata al-ahillah dalam ayat di atas bersifat ` âmm, ia ada di setiap bulan. Para mujtahid berbeda dalam memaknai kata tersebut; Apakah ia dipahami dan diamalkan sesuai keumumannya, atau ia telah ditakhshishkan sehingga tidak lagi diartikan sesuai keumumannya itu. Imam Malik dan Abu Hanifah memaknainya berdasarkan makna ` âmm -nya. Sedangkan Imam al-Syafi`i melihat, keumuman kata al-ahillah dalam ayat 189 surat al-Baqarah itu telah di-takhshîsh-kan oleh ayat الحج أشهر معلومات . Maka dengan demikian menurutnya, bulan sabit yang dimaksud dalam ayat 189 itu adalah bulan sabit yang ada di bulan haji, tidak termasuk bulan sabit pada bulan lainnya. b. Penafsiran ayat mengenai pemberian mut`ah oleh suami kepada isteri yang telah diceraikannya, yaitu :         Kata al-muthallaqât dalam ayat ini adalah lafaz ` âmm. Hasan al-Basri memaknai kata tersebut sesuai dengan lafaz ` âmm -nya. Menurutnya ayat itu berarti, seorang laki-laki wajib memberikan mut`ah kepada perempuan yang telah diceraikannya. Malik berpandangan, suami hanya sunat memberikan mut`ah kepada wanita yang telah diceraikannya itu. Dilalah yang menunjukkan sunat itu adalah penggalan ayat yang terdapat di bagian akhir ayat 245 di atas, yaitu haqqan `ala al-muttaqîn. Sedangkan Jumhur berpandangan, bahwa al-muthalaqât dalam ayat itu memang ` âmm tetapi ia dipahami secara khas. Maka mereka berpendapat mut`ah hanya wajib atas laki-laki untuk wanita yang dicerai dimana wanita itu belum menentukan jumlah maharnya. Sebaliknya, wanita yang dicerai setelah ditentukan maharnya, dan telah dibayar, hanya sunat diberi mut`ah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibn Umar, Ibn Abbas dan Ali bin Abi Thalib . Dalil yang menunjukkan khasnya makna muthallaqât dalam ayat tersebut adalah firman Allah yang terdapat dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat 236 surat al-Baqarah. Ayat itu menyebutkan, bahwa wanita yang dicerai sebelum dipergauli dan belum pula ditentukan maharnya wajib diberi mut`ah. c. Penafsiran ayat tentang haramnya seorang laki-laki menikahi wanita yang pernah menyusukannya atau saudara sesuan. Ayat itu adalah :   •         •      Dalam ayat di atas terdapat kata ummahâtukum al-lâtî ardha`nakum dan akhawâtukum min al-radhâ`ah. Ayat ini adalah umum, yaitu siapapun wanita yang menyusukan dan berapapun frekuensi menyusu termasuk dalam larangan itu. Hal ini dipegangi oleh mazhab Maliki, Abu Hanifah, al-Awza`i, dan al-Tsawri. Dan dari kalangan sahabat, terdapat pula Ali, Ibn Mas`ud, Ibn `Umar, dan Ibn `Abbas yang juga berpandangan bahwa ayat itu dipahami dan diamalkan berdasarkan makna umumnya itu . Tetapi selain mereka ini, terdapat pula para mujtahid yang tidak memaknai ayat itu dalam keumumannya. Menurut mereka, ayat itu telah ditakhshishkan oleh ayat yang telah dimansukhkan tulisanya sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat `A’isyah: كَانَ فِيمَا أنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمًاتٍ يُحْرَمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسِ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهو فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ Artinya: Pernah diturunkan sebagian dari (ayat) al-Qur’an (yang menerangkan) diharamkan (menikahi kalau) menyusu sudah sampai sepuluh kali yang dimaklumi. Kemudian dinasakhkan dengan lima kali (menyusu) yang dimaklumi. Kemudian Rasul wafat, dan ia masih dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an (HR. Muslim) . Berdasarkan hadis ini mereka berpandangan, terdapat batas minimal frekuensi menyusu sebagai persyaratan keharaman menikahi wanita yang menyusukan dan saudara sesuan. Namun mereka berbeda pula dalam menentukan batas minimal tersebut. Perbedaan itu adalah : - Menurut Abu `Ubaid dan Abu Tsur, batas minimal itu adalah tiga kali menyusu - Al-Syafi`i berpandangan, bahwa batas minimal itu adalah lima kali menyusu - Bahkan ada sebagian ulama yang berpendapat, batas minimalnya ialah sepuluh kali menyusu . Selain itu terdapat pula hadis, yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Haris yang dia terima dari Ummi al-Fadhl. Bahwa Nabi bersabda: لا تحرم الرضعة أو الرضعتان أو المصة أو المصتان Artinya: Tidaklah diharamkan sekali atau dua kali menyusu, atau sekali hisap dua kali hisap . d. Penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan tahallul pada masa melaksanakan ibadah haji jika dikepung oleh musuh (al-ihshâr), yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 196 :               Ayat ini memberikan keringan untuk bertahallul kepada orang yang sedang ihram, dimana mereka terhalang oleh musuh. Persoalan yang tidak disepakati adalah makna kata al-ihshâr dalam ayat di atas. Secara harfiah, al-ihshâr bermakna al-habs (tertahan atau terhalang). Tetapi apakah yang dimaksud dalam ayat itu semua bentuk halangan, atau khusus terhalang oleh musuh. Jumhur ulama berpandangan, yang dimaksud dengan halangan (al-ihshâr) dalam ayat tersebut hanyalah tertahan atau terhalang oleh musuh, tidak termasuk halangan lainnya. Artinya, jumhur memaknai kata al-ihshâr tersebut dalam makna sempit, ia tidak mencakupi makna lain. Sedangkan Abu Hanifah memaknai kata al-ihshâr itu dalam arti luas, tidak hanya dalam arti terkepung atau terhalang oleh musuh saja. Menurutnya, halangan-halangan lain seperti sakit, takut, hilangnya kendaraan, dan lain-lain termasuk hal-hal yang membolehkan bertahallul. e. Penafsiran terhadap ayat mengenai larangan menikahi prempuan musyrik (al-musyrikât). Hal itu terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 221, yaitu :       Para ulama tidak sepakat dalam menafsirkan kata al-musyrikât dalam ayat ini. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mengandungi makna kafir kitabi (kitabiyât), yaitu wanita Yahudi dan Nasrani. Mereka berdalil dengan perbincangan al-Qur’an itu sendiri, yang membuat perbedaan antara ahl al-kitâb dengan al-musyrik. Ketika al-Qur’an berbincang mengenai musyrik, maka tidak termasuk di dalam ahl al-kitâb. Oleh sebab itu, kata al-musyrikât dalam ayat di atas tidak mencakupi kitabiyât. Sebaliknya, Ibn Umar berpendapat pula bahwa al-musyrikât dalam ayat itu juga mencakupi kitabiyât. Lebih jauh, dia mengatakan “Saya tidak tahu, apakah ada syirik yang lebih besar dari perkataan seorang wanita tuhannya Isa” . Perbedaan ini berinplikasi kepada perbedaan mereka dalam menetapkan hukum mengenai kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi kitabiyât. f. Penafsiran terhadap kata i`tizâl, yang terdapat dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 222. Dalam ayat tersebut ditegaskan “fa`tazilu al-niasâ’a fi al-mahîdh” (Jauhilah isterimu yang sedang dalam masa haid). Persoalan yang menjadi perdebatan disini adalah apakah yang dimaksud dengan “ menjauhi isteri dalam masa haid “ (i`tizâl al-nisâ’ fi al-mahîdh). Apakah sekujur badannya atau bagian tertentu saja? Ada mufassir yang memaknai ayat itu secara umum, dan ada pula yang memaknainya secara khusus. Mufassir yang memaknainya secara umum adalah suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Abbas dan `Ubaidah al-Salmani. Sedangkan jumhur ulama memaknainya secara khusus. Menurut mereka, yang dimaksud dengan i`tizâl al-nisâ’ fi al-mahîdh tidaklah sekujur badannya tetapi bagian tertentu saja. Namun demikian, jumhur berbeda pula dalam menentukan bagian tubuh wanita yang mesti dijauhi dalam masa haidnya itu. Perbedaan itu adalah : a). Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bagian yang wajib dijauhi itu ialah mulai dari pusat sampai lutut. b). Al-Syafi`i berpandangan pula, bahwa yang mesti dijauhi hanyalah kemaluan, tempat yang sedang kotor (mawdhi` al-adza) . 2. Kualitas suatu perintah dan larangan Perbincangan menegnai hukum pastilah berkaitan dengan perintah atau larangan. Kualitas suatu perintah dan larangan tidak selalu sama antara satu kalimat dengan kalimat lainnya. Kualitas kalimat perintah yang paling tinggi adalah wajib, tetapi kadang-kadang ia juga bermakna suatu anjuran atau kebolehan atau tidak berniali apa-apa (mubâh). Dan kalimat larangan yang paling tinggi adalah haram, tetapi kadang-kadang ia juga bermakna suatu anjuran agar ditinggalkan, tidak sampai berdosa mengerjakannya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum selalu menggunakan kalimat perintah dan larangan. Tidak semua kalimat perintah dalam al-Qur’an bermakna wajib, dan tidak semua larangan dalam al-Qur’an bermakna haram. Para imam mujtahid kadang-kadang tidak sepakat dalam memaknai kalimat perintah atau larangan tersebut. Suatu kalimat perintah yang dimaknai sebagai wajib oleh sebagian mujtahid belum tentu juga wajib dalam pandangan mujtahid lainnya, demikian pula kalimat larangan. Perbedaan-perbedaan dalam pemknaan ini tentu saja melahirkan pula perbedaan dalam menetapkan hukum. Hal itu dapat dilihat dalam dua contoh berikut : a. Perintah menikah yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini seperti yang terdapat dalam ayat:           Dalam ayat ini terdapat kata perintah, yaitu fankihû. Walaupun kata fankihû, diungkapan dalam bentuk fi`il al-amr tetapi ia tidak mesti diartikan kepada wajib. Menurut Jumhur, kata perintah dalam ayat tersebut bermakna sunat tidak wajib. Sedangkan menurut Ahl al-Zhahir, kalimat perintah dalam ayat di atas bermakna wajib. Artinya, mereka berbeda dalam memandang kualitas kata perintah dalam ayat tersebut. Ahlu Zahir berpendapat, bahwa kualitas perintah tersebut berada pada pringkat wajib, sedangkan Jumhur berpendapat pula kualitasnya tidak sampai pada tingkat wajib; ia hanya merupakan printah sunat. b. Perintah membaca basmalah ketika menyembelih binatang. Hal ini seperti yang terdapat dalam firman Allah ayat 121 surat al-An`âm, yaitu:            Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Dalam ayat ini terdapat fi`il nahi, yaitu larangan memakan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah. Bahkan, hal itu disebut dengan perbuatan fasiq (innahû lafisq). Selain larangan atau fi`il nahi, terdapat pula perintah menyebut nama Allah ketika melepas binatang pemburu, yaitu:      •   •    Artinya : Dan sebutlah nama Allah (ketika melepas) binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. Para ulama tidak sepakat memaknai kedua penggalan ayat di atas, terutama memaknai larangan dan kata perintah yang terdapat di dalamnya. Jumhur ulama yang terdiri dari Ahlu Zahir, Abu Hanifah, Malik, dan Tsawri berpandangan, bahwa larangan dalam ayat di atas berkualitas haram dan kata perintahnya bermakna wajib. Sedangkan menurut Imam al-Syafi`i, larangan itu tidak bermakna haram tetapi hanya bermakna makruh. Dan perintah tidak bermakna wajib, tetapi bermakna sunat. Berdasarkan perbedaan perspektif kebahasaan ini maka merekapun berbeda dalam menetapkan hukum. Perbedaan itu adalah : a. Menurut mazhab Zhahiri (kaum tekstual), membaca basmalah ketika menyembelih wajib secara mutlak. b. Menurut Abu Hanifah, Maliki, dan al-Tsawri, membaca basmalah ketika menyembelih adalah wajib dan merupakan syarat sahnya sembelihan jika teringat, tetapi jika terlupa maka wajibnya menjadi gugur. c. Al-Syafi`i berpandangan, membaca basmalah ketika menyembelih bukanlah syarat sahnya sembelihan. Menurutnya, membaca basmalah ketika menyembelih hanyalah sunat mu’akkad. Selain memaknai larangan kepada makruh dan suruhan kepada sunat, Imam al-Syafi`i juga berdalil sabda Nabi yang diriwayatkan dari Imam Malik yaitu : سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقيل : يارسول الله ان ناسا من البادية يأتوننا بلحمان ولا ندري أسموا الله أم لا ؟ فقال رسول الله سموا الله ثم كلوها Artinya: Ada orang yang bertanya kepada Rasulullah; Ya Rasul, sesungguhnya ada orang dari masyarakat badwi datang kepada kami membawa daging dan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak? Maka Rasul menjawab; “Sebutlah nama Allah, kemudian makanlah”. Imam al-Syafi`i cenderung melakukan al-jam`u (kompromi) terhadap dua nas yang ta`ârudh (bertentangan) ini, dengan cara menakwilkan larangan dalam ayat kepada makruh. Sehingga dia berpendapat, membaca basmalah itu sunat bukan wajib. Selain itu, ayat ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه diartikan kepada larangan memakan sembelihan menyebut selain Allah, bukan larangan memakan sembelihan yang tidak membaca basmalah. 2. Penentuan Qaid (Muqayyad) Perbincangan al-Qur’an mengenai norma, ketentuan, atau hukum yang harus dipatuhi manusia selalu dikaitkan dengan kondisi, sifat, atau persyaratan tertentu, dimana jika kondisi, sifat, atau persyaratan itu tidak ada maka hukum atau ketentuan akan berubah. Tetapi penyebutan al-Qur’an mengenainya tidak serta merta menjadi atau persyaratan keberlakuan suatu hukum. Seperti larangan Allah mewarisi kaum wanita dengan cara paksa, sebagaimana yang tergambar dalam ayat يأيها الذين أمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها (Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi wanita itu dengan cara dipaksa) . Penyebutan kata paksa (karhan) dalam ayat ini jelas bukan menjadi kait keharaman mewarisi wanita. Artinya, baik terpaksa ataupun suka, wanita tetap tidak boleh diwarisi. Sebab, kata karhan dalam ayat di atas itu hanya mengambarkan kondisi wanita yang diwarisi itu pada umumnya terpaksa. Tidak ada batasan yang jelas mengenai kait yang mempengaruhi hukum dan yang tidak mempengaruhinya. Oleh sebab itu, persoalan ini selalu memicu munculnya perbedaan dalam penafsiran. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran berbagai ayat, baik yang menyangkut dengan ibadah ataupun mu`amalah. Untuk lebih jelas penulis sajikan penafsiran ayat berikut: a. penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan mengasar shalat, yang terdapat dalam surat 4 (al-Nisâ’) 101:                   •       Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Ayat ini menegaskan mengenai kebolehan seorang muslim yang dalam musafir mengashar shalat, dengan menjadikan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Tetapi kebolehan itu diiringi dengan ungkapan ان خفتم أن يفتنكم الذين كفررا (jika kamu takut diserang orang-orang kafir), sehingga soalah-olah ayat itu bermakna “bahwa apabila kamu dalam perjalanan maka kamu boleh mengashar shalatmu dengan syarat jika kamu takut diganggu orang-orang kafir”. Yang menjadi persolan disini adalah “apakah huruf syarat dalam ayat itu merupakan kait terhadap kebolehan mengashar shalat atau tidak? Jika tidak, apa urgensi dan makna in khiftum ayyaftinakum al-ladzîna kafarû dalam ayat ini?. Dan jika ia menjadi syarat, maka ayat itu mengandung makna bahwa orang yang tidak khawatir mendapat gangguan dari orang-orang kafir dalam perjalanannya tidak boleh mengashar shalat. Para mujtahid tidak sepakat dalam memaknai in syarthiyah dalam ayat tersebut. Jumhur ulama berpandangan ungkapan in khiftum ayyaftinakum al-ladzîna kafarû yang terdapat dalam ayat itu tidaklah merupakan kait, tetapi menggambarkan kebiasaan (aghlabiah) yang terjadi. Sedangkan, `A’isya berpandangan pula, bahwa penggalan ayat itu merupakan kait terhadap penggalan ayat falaysa `alaykum junâhun an taqshurû min al-shalâh . b. penafsiran terhadap ayat mengenai kebolehan menikah dengan anak tiri dan mertua, yang terdapat dalam ayat 34 surat 4 (al-Nisâ’), yaitu : •                   Artinya: Dan (juga diharamkan bagimu) menikahi ibu isterimu dan anak tirimu yang berada dalam jagaanmu dari isterimu dimana kamu telah mempergaulinya. Jika kamu belum mempergaulinya, maka tidak ada dosa bagimu (menikahinya). Terdapat dua kait dalam ayat ini, yaitu pertama التى فى حجوركم (yang berada dalam jagaanmu) yang terdapat setelah kata ربائبكم (anak tirimu), dan التى دخلتم بهن yang terdapat setelah kata min nisâ’ikum. Persoalan yang diperdebatkan disini adalah “apakah kata التى فى حجوركم menjadi kait dan membatasi kemutlakan ربائبكم atau tidak?”. Hal inilah yang tidak disepakati oleh para ulama. Jumhur ulama berpandangan, bahwa kata التى فى حجوركم tidaklah menjadi kait bagi ربائبكم sehingga kata yang terakhir ini tetap dipahami secara mutlak, dan tidak ada pembatasan makna kecuali kait yang terdapat setelah min nisâ’ikum, yaitu التى دخلتم بهن من نسائكم(dari isterimu yang kamu pergauli). Atau dengan kata lain, kemutlakan kata rabâ’ibukum hanya dibatasi maknanya oleh kata التى دخلتم بهن من نسائكم sedangkan kata التى فى حجوركم tidaklah membatasi makna atau tidaklah menjadi kait bagi kemutlakan kata ربائبكم. Sebaliknya, `Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa kedua kata (al-latî fî hujûrikum dan al-latî dakhaltum bihin) tersebut menjadi kait atau membatasi kemutlakan kata rabâ’ibukum . Kedua التى دخلتم بهن (dimana kamu telah bergaul dengan isterimu itu). Para ulama sepakat, bahwa kata ini merupakan kait bagi kata ربائبكم. Artinya, anak tiri yang haram dinikahi hanyalah anak tiri dimana ibunya telah dipergauli. Apabila ibunya belum dipergauli, kemudian dia diceraikan, maka anak itu boleh dinikahi. Tetapi para mujtahid tidak sepakat mengenai التى دخلتم بهن sebagai kait bagi kata أمهات نسائكم yang terdapat sebelum kata ربائبكم. Menurut jumhur ulama, kata allatî dakhaltum bihinna tidaklah kait atau tidaklah membatasi kemutlakan kata ummahâtu nisâ’ikum. Justru itu, menurut mereka أمهات نسائكم mesti dipahami secara mutlak, kait sifat yang terdapat dalam ayat itu hanya berlaku pada rabâ’ibukum saja. Sedangan Ali bin Abi Thalib berpandangan, bahwa kait itu tidak hanya berlaku terhadap rabâ’ib tetapi juga berlaku terhadap kata ummahât. Maka menurutnya, kata أمهات نسائكم tidak dipahami secara mutlak tetapi dikaitkan dengan al-latî dakhaltum bihinn. f. Makna Hakiki dan Majazi Selain dari persoalan kebahasaan di atas, perbedaan pendapat para mujtahid dalam menafsirkan suatu ayat juga dilatarbelakangi oleh pandangan mereka tentang makna hakiki dan majazinya suatu ayat. Perbincangan al-Qur’an mengenai suatu persoalan kadang-kadang bersifat hakiki dan kadang-kadang bersifat majazi. Ungkapan yang bersifat hakiki itu secara jelas dapat dipahami kehakikiannya, demikian pula ungkapan majazi sehingga tidak ada menimbulkan perbedaan pendapat. Tetapi, ada pula ungkapan hakiki dan majazi yang tidak dapat dipahami secara pasti; apakah ia pasti hakiki atau pasti majazi. Inilah yang melahirkan perbedaan dalam penafsiran. Hal itu dapat dilihat dalam penafsiran surat 2 (al-Baqarah) ayat 184:             Para ulama berbeda dalam memahami kalimat فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر (siapa saja di antaramu yang sakit atau dalam perjalanan, maka dia mesti berpuasa sejumlah hari dia sakit atau dalam perjalanan tersebut di hari-hari yang lain). Sebagian ulama berpandangan bahwa ada kata yang dimahzufkan dalam ayat tersebut, yaitu fa afthara sehingga menurut mereka ayat itu bermakna فمن كان منكم مريضا أو على سفرفأفطر فعدة من أيام أخر (siapa saja di antaramu yang sakit atau dalam perjalanan lalu dia berbuka atau tidak berpuasa, maka dia mesti berpuasa sejumlah hari berbukanya itu di hari-hari yang lain). Jumhur ulama menafsirkan ayat di atas seperti penafsiran ini. Sedangkan Ahl Zhahir berpandangan, bahwa tidak ada kata yang dimahzufkan. Menurut mereka ayat tersebut mesti dipahami sebagaimana adanya, yaitu dalam makna hakiki . Artinya, menurut jumhur ulama ayat di atas termasuk majaz nuqshan yaitu tidak menyebutkan kata fa afthara karena telah dimaklumi. Dan ulama lainnya berpendapat, bahwa ayat di atas mengandung makna hakiki, tidak ada kata yang dihilangkan. Oleh karenanya ia mesti dimaknai dengan makna hakiki itu. Maka orang yang sedang dalam perjalanan mestilah berpuasa di luar Ramadhan sejumlah hari perjalanannya itu. Penutup Munculnya perbedaan pendapat para ulama dalam Fiqih merupakan suatu keniscayaan. Maka pemahaman dan pengamalan umat Islam terhadap ajaran agamanya, khususnya persoalan-persoalan Fiqih, tidak mungkin disatukan. Banyak faktor yang memicu munculnya perbedaan-perbedaan pandangan atau pemahaman terhadap hukum Islam itu, yang tentu saja melahirkan pula perbedaan dalam pengamalan. Faktor tersebut meliputi perbedaan mereka dalam berdalil, perbedaan mereka dalam menilai kualitas atau status suatu nas, terutama hadis, perbedaan metodologi yang mereka gunakan dalam menghadapi dalil-dali yang saling bertentangan (ta`ârudh al-adillah), dan perbedaan mereka dalam persoalan kebahasaan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kebahasaan yang melatarbelakangi perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, yaitu pertama pemaknaan terhadap suatu kata yang terdapat dalam ayat-ayat hukum. Hal itu meliputi pemaknaan terhadap huruf jar, huruf `ataf, penentuan makna suatu kata kerja dan kata benda yang berlafal musytarak. Kedua penentuan persoalan yang ditunjuki oleh suatu isim isyârah. Ketiga penentuan tempat pengembalian isim dhamîr yang terdapat dalam ayat-ayat hukum. Keempat penentuan cakupan dan kualitas makna suatu lafal, yang meliputi keberlakuan umumnya sebuah lafal dan pentakhshishannya, kualitas suatu perintah dan larangan, serta mutlaq dan muqayyad-nya sebuah lafal. Dan kelima pemaknaan hakiki dan majazinya suatu lafal Itulah lima persoalan kebahasaan yang selalu diperdebatkan oleh para mujtahid, yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat mereka dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Dan selanjutnya perbedaan itu melahirkan pula perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam. Perbedaan pendapat para ulama yang disebabkan oleh persoalan kebahasaan ini mencakupi semua bagian hukum Islam tersebut, baik persoalan yang menyangkut dengan persoalan ibadah ataupun yang menyangkut dengan persoalan mu`amalah. Persoalan ibadah mencakupi hal-hal yang berkaitan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan persoalan mu`amalah mencakupi pula hal-hal yang berkaitan dengan makanan, perkawinan, dan lain sebagainya. Persoalan kebahasaan kadang-kadang tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi munculnya perbedaan pendapat dalam menafsirkan suatu ayat hukum atau menetapkan suatu hukum. Sering sekali alasan kebahasaan yang dipegangi oleh seorang mujtahid ditopang pula dalil lain, seperti hadis, qiyas dan lain sebagainya. Pustaka Acuan Al-Qur’an al-Karim. `Abd al-Wahab `Abd al-Salam. Atsru al-Lughah fî Ikhtilâfi al-Mujtahidîn. Kairo: Dar al-Salam, 2000. Abu Zahrah, Muhammad. Ushûl al- Fiqh. t.t.p: Dar al-Fikri al-Arabi, t.t. al-Ahdal, Muhammad bin Ahmad bin `Abd al-Bari. al-Kawâkib al-Durriyah Syarh Mutammimah al-Ajrumiyah. Surabaya: Toko Imam. t.t. al-Damanhuri, Ahmad. Îdhâh al-Mubham min Ma`âni al-Sulam. Cerebon: Syirkah Mathba`ah Indonesia, t.t. Ghulayaini, Musthafa. Jâmi` al-Durûs al-`Arabiyah. Bairut: al-Maktabah al-`Asriyah, 1989. Ibn Katsir, `Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ’ Ismâ’il. Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm. Bandung: Syirkah Nurasia, t.t. Ibn Manzur, Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim. Lisân al-`Arab. Bairut: Dar al-Fikr, 1990. Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidâyah al-Mujtahid fî Nihâyah al-Muqtashid. Semarang: Usaha Keluarga, t.t. al-Jazîrî, Abdurrahmân. Kitâb al-Fiqh `Alâ Madzâhib al-Arba`ah. Bairut: Dâr Ihyâ’ al-Turats, 1969. al-Jawi, Syekh Muhammad Nawawi.al-Tafsîr al-Munîr li Ma`âlim al-Tanzîl Jilid I. Bandung; Syirkah al-Ma`arif., t.t. Khallaf, Abd al-Wahhab. `Ilm Ushûl al-Fiqh. Kuwait: t.p, t.t. al-Khthîb, Muhammad al-Syarbayni. Al-Iqnâ` fî Halli Alfâzh Abî Syujâ`. Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub, t.t. Kadar M. Yusuf. Tafsîr Ayât Ahkâm; Tafsir Tematik Ayat-ayat Mengenai Hukum. Jakarta: Amzah, 2011. al-Kaḥlani, Muhammad Ibn Isma`il. Subul al-Salâm. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t. Muslim. Shahîh Muslim. Bandung: Dahlan. t.t. al-Maraghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Bairut: Dar al-Fikr, 1974. Sâbiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Bairut: Dâr al-Fikr, 1983. al-Shâbûni, Muhammad Ali. Rawâ’i` al-Bayân Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Dimasyq: Dâr al-Qalam, 1990. al-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwah al-Tafâsâr. Bairut: Dar al-Jayl. t.t. al-Thabari, Abî Ja`far ibn Jarîr. Jâmi` al-Bayân Ta’wîl Âyi al-Qur’ân. Bairut: Dâr al-Fikr, 1988. al-Tirmîdzi, Abi `Isa Muhammad bin `Isa bin Surat. Sunan al-Tirmîdzi wa huwa al-Jâmi` al-Shahîh. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t. Tawilah, Abdul Wahab Abdus Salam. Atsr al-Lughah fî Ikhtilâfi al-Mujtahidîn. Kairo: Darus Salam, 2000. Tim Penyunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. al-Qurthubi, Abû `Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshâri. Al-Jâmi` li Aḥkâm al-Qur’ân, t.t.p: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1954. al-Qâsimi, Muhammad Jamâl al-Dîn. Mahâsin al-Ta’wîl. t.t.p: `Isâ al-Bâbi al-Halabi. t.t. al-Qardhawi,Yusuf. Fiqh al-Zakah. Bairut: Muassasah al-Risâlah, 1991. Zarzur, Muhammad Adnan. `Ulûm al-Qur’ân; Madkhal Ilâ Tafsîr al-Qur’ân wa Bayâni I`jâzih. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1981. al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.